1 / 49

ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN

ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN. Aries M. Hukum : adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan dalam mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat Hukum Kedokteran : - Merupakan bagian dari Hukum Kesehatan - Menyangkut asuhan/ pelayanan kedokteran

cate
Télécharger la présentation

ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN Aries M

  2. Hukum: adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan dalam mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat Hukum Kedokteran: - Merupakan bagian dari Hukum Kesehatan - Menyangkut asuhan/ pelayanan kedokteran (Medical Care/ pelayanan) Profesi Kedokteran  tidak terpisahkan dengan pelayanan kesehatan dan etika

  3. Etika: - Berasal dari kata Yunani Ethos - Artinya: - yang baik - yang layak - adalah norma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi tertentu dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat - adalah ilmu tentang kesusilaan, tentang apa yang baik dan yang buruk, yang patut dikerjakan seseorang dalam jabatannya sebagai pelaksana profesi

  4. Persamaan Etika dan Hukum • Merupakan alat untuk tertibnya hidup bermasyarakat • Obyeknya adalah tingkah laku manusia • Mengandung hak dan kewajiban anggota-anggota masyarakat, agar tidak saling merugikan • Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi • Sumbernya adalah hasil pemikiran para pakar dan pengalaman para anggota senior

  5. Perbedaan Etika dan Hukum • Etika berlaku untuk lingkungan profesi, Hukum berlaku untuk umum • Etika disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi, Hukum disusun oleh Badan Pemerintahan • Etika tidak seluruhnya tertulis, Hukum tercantum secara terinci dalam Kitab Undang-undang dan lembaran/ Berita Negara

  6. 4. Sanksi pelanggaran etika berupa tuntunan, sanksi pelanggaran hukum berupa tuntutan 5. Pelanggaran etika diselesaikan oleh MKEK yang dibentuk oleh IDI, Pelanggaran Hukum selalu diselesaikan melalui Pengadilan 6. Penyelesaian pelanggaran etika tidak selalu disertai bukti fisik, penyelesaian pelanggaran Hukum selalu disertai bukti fisik.

  7. Sumber Hukum: • Undang-undang • Peraturan Pemerintah • Kepres • Per Pres • Kep Men • Per Men • Standar profesi • Standar Pelayanan Medis • Prosedur Tetap • dll

  8. Persamaan Etika dan Hukum (no 3) : Mengandung hak dan kewajiban anggota-anggota masyarakat, agar tidak saling merugikan Profesi Kedokteran Proses Pelayanan Kesehatan Hubungan dokter-pasien Hak dan Kewajiban dokter-pasien

  9. Input Proses Output Outcome • Profesi dokter atau dokter gigi, dll • Etika • - Pasien dan keluarga • - Sarana Kesehatan • - Aturan-aturan yang berlaku • - Tindakan – tindakan kedokteran

  10. UU no. 29/ 2004 tentang Praktek Kedokteran diatur sangat jelas: Hak dan Kewajiban dokter-pasien: Pasal 50 Hak dokter dan dokter gigi: • a. Memperolehperlindunganhukumsepanjang • melaksanakantugassesuaidenganstandarprofesidanstandarproseduroperasional • b. Memberikanpelayananmedismenurutstandarprofesidanstandarproseduroperasional • c. Memperolehinformasi yang lengkapdanjujurdaripasienataukeluarganya, dan • d. Menerimaimbalanjasa

  11. Hak Dokter dan Dokter Gigi • Menurut para pakar etika dan Hukum , Hak tersebut tidak perlu ditonjolkan kecuali pasal 50 (c) memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien & keluarganya • Menolak bekerja diluar SPM • Menolak tindakan yang bertentangan dengan kode etik profesi Kedokteran • Memilih pasien dan mengakhiri hubungan profesional dengan pasien

  12. Hak atas Fair Play Pasien tidak puas dengan perawatan yang diberikan, dokter yang merawat berhak memperoleh pemberitahuan pertama untuk peristiwa tersebut karena hubungan profesional dokter-pasien diwarnai oleh kemauan atau itikad baik kedua belah pihak. - Mendapat informed consent dari pasien atau keluarganya

  13. Pasal 51, Kewajiban Dokter dan Dokter Gigi a. Memberikan Pelayanan Medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia d. Melakukan pertolongan darurat medis atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya, dan e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi

  14. Kewajiban dokter dan dokter gigi • Bekerja sesuai SPM • Memberikan informasi tentang tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien • Menyimpan rahasia jabatan atau pekerjaan medik ( diatur PP No. 10/ 1966) Dapat dikesampingkan dalam hal: - Penyakit menular dan Asuransi - Pasien mengijinkan secara tertulis - Kepentingan yang lebih tinggi - Menolong pasien Gawat Darurat

  15. Pasal 52, Hak Pasien a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3) b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain, c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis d. Menolak tindakan medis, dan d. Mendapatkan isi rekaman medis

  16. Hak Pasien : • Memberikan persetujuan Tindakan Medis Berkaitan dengan pasal 351 KUHP Yang mengatur tentang Penganiayaan • Memilih dokter dan Rumah Sakit • Atas rahasia medis

  17. Pasal 53, kewajiban pasien a. Memberikaninformasi yang lengkapdanjujurtentangmasalahkesehatannya b. Mematuhinasehatdanpetunjukdokterataudoktergigi c. Mematuhiketentuan yang berlakudisaranapelayanankesehatan, dan d. Memberikanimbalanjasaataspelayanan yang diterima

  18. Kewajiban pasien: Memberikan informasi yang lengkap & jujur Informasi tidak lengkap/ salah Sengaja menyembunyikan informasi Timbul cedera Dokter dapat terlepas dari kesalahan Kewajiban berterus terang  Fair Play

  19. Tujuan ilmu kedokteran: 1. Menyembuhkan dan mencegah penyakit Hidup berkualitas 2. Meringankan penderitaan 3. Mendampingi pasien Melihat pasien sebagaimana manusia yang seutuhnya. Keadaan kritis, dokter berkewajiban mengusahakan agar pasien didampingi oleh keluarga/ kerabat

  20. Standar profesi dokter  dijadikan norma bagi pekerjaan dokter: 1. Tindakan yang teliti dan hati-hati 2. Standar medis: - Tindakan bersifat profesional - Terapi harus dilakukan berdasarkan diagnosis yang sudah ditegakkan. - Dokter tidak dibenarkan melakukan tindakan yang bukan wewenangnya atau di luar bidang keahliannya.

  21. 3. Kemampuan rata-rata dalam bidang keahlian yang sama.4. Situasi dan kondisi yang sama RS type B ‡ RS type A5. Asas proporsionalitas Tidak boleh : - Diagnostic overkill - Therapeutic overkill

  22. Dokter : - Mempunyai kebebasan profesional tetapi tidak mempunyai kebebasan terapeutik - Dapat menolak melakukan perawatan/ pengobatan/ tindakan medis tertentu apabila ia tidak dapat mempertanggungjawabkannya secara profesional - Dapat mengakhiri hubungan dengan pasienPasien : - Mempunyai kebebasan terapeutik

  23. Tindakan medis tidak bertentangan dengan hukum apabila dipenuhi ketiga syarat berikut:1. Mempunyai indikasi medis kearah suatu tujuan perawatan yang konkrit .2. Dilakukan menurut ketentuan yang berlaku di dalam ilmu kedokteranLege artis3. Telah mendapat persetujuan pasienInformed consent

  24. Informed concent Menurut pasal 45 UU no 29/2004 (1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang – kurangnya menyangkut : a. Diagnosis dan tatacara tindakan medis b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan c. Alternatif tindakan lain dan risikonya d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan

  25. (4). Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan (5). Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan

  26. Aspek hukum dari informed concent I. Aspek hukum pidana Dikaitkan dengan pasal 351 KUHP yaitu tentang penganiayaan Tindakan medis oleh dokter, bukan merupakan penganiayaan apabila memenuhi : 1). Pasien tersebut setuju dengan tindakan terhadap dirinya tersebut. 2). Tindakan medis berupa pembedahan yang pada hakekatnya juga menyayat, menusuk dan memotong tubuh pasien berdasarkan suatu indikasi medik dan ditujukan untuk suatu tujuan yang nyata. 3). Tindakan medis tersebut dilakukan sesuai dengan kaidah ilmu kedokteran yang diakui dalam dunia kedokteran. Ketiga syarat tersebut saling melengkapi dan berkaitan, sehingga pasal 351 KUHP dapat dikenakan bila salah satu diantaranya tidak dipenuhi, terlupakan atau terabaikan.

  27. Perbuatan yang dapat dikategorikan dalam malpraktek pidana • Tindak pelanggaran kesopanan ( pasal-pasal 290,294,285 dan 286 KUHP ) • Pengguguran kandungan tanpa indikasi medik ( pasal-pasal 299,348,349 dan350 KUHP ) • Sengaja membiarkan pasien tidak tertolong ( pasal 322 ) • Membocorkan rahasia medik ( pasal 322 ) • Lalai sehingga mengakibatkan kematian atau luka-luka ( pasal 359, 360 dan 361 KUHP ) • Memberikan atau menjual obat palsu ( pasal 386 KUHP ) • Membuat surat keterangan palsu ( pasal 263 dan 267 KUHP ) • Melakukan Euthanasia ( pasal 344 KUHP )

  28. II. Aspek hukum perdata • Tanggung jawab profesional sangat erat dengan ketentuan mengenai perikatan, menyangkut perjanjian perawatan maupun terapeutik. • Perikatan upaya/usaha maksimal  inspanningsverbintenis • Bukan perjanjian berdasarkan hasil  resultaatverbintenis • Pasal 1320 KUHPerdata menegaskan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi 4 syarat : 1. Adanya kesepakatan dari kedua belah pihak yang bebas dari paksaan, kekeliruan, salah paham, dan penipuan. 2. Kedua belah pihak telah cakap untuk membuat suatu perjanjian. 3. Adanya suatu hal tertentu/nyata yang diperjanjikan. 4. Perjanjian tersebut mengenai suatu sebab yang halal, yang dibenarkan dan tidak dilarang oleh peraturan perundang- undangan, serta merupakan suatu sebab yang masuk akal untuk dipenuhi oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian.

  29. Kemungkinan-kemungkinan malpraktek perdata dapat terjadi untuk hal-hal sebagai berikut : • Wanprestasi ( pasal 1239 KUH Perdata ) • Perbuatan melanggar hukum ( pasal 1365 KUH Perdata ) • Melalaikan kewajiban ( pasal 1367 KUH Perdata ) • Kelalaian yang mengakibatkan kerugian ( pasal 1366 KUHPerdata )

  30. Para pakar hukum : • Mengingatkan bahwa suatu pernyataan persetujuan adalah sah, jika sebelumnya diberikan informasi yang cukup terlebih dahulu ( voldoende informatie ) • Hukum Perdata menganut prinsip “ Barang siapa merugikan orang lain, harus memberikan ganti rugi ”. • Dianggap wanprestasi, apabila salah satu pihak tidak melakukan, terlambat melakukan, salah melakukan ataupun melakukan apa yang tidak boleh dilakukan menurut perjanjian tadi.

  31. Situasi Khusus yang berkaitan dengan Informed concent • Keadaan Gawat Darurat ( Emergency ) Doktrin yang diakui dalam dunia kedokteran tentang keadaan gawat darurat meliputi empat hal : 1. Syok 2. Perdarahan 3. Patah tulang 4. Kesakitan Sedangkan rumusan George J. Anas adalah “... Any injury or acuta medical condition liable to cause death, disability or serious illnes if not immediately attended to”.

  32. Leenen, menjelaskan mengenai fiksi hukum bahwa seseorang yang berada dalam keadaan tidak sadar akan menyetujui apa yang umumnya akan disetujui oleh seorang yang berada dalam keadaan sadar, pada situasi dan kondisi sakit yang sama Presumed concent Dasar hukumnya adalah pasal 1354 KUH Perdata, yang mengatur tentang perwalian sukarela atau zaakwaarneming Apabila dokter menunda operasi hanya karena belum ada izin untuk itu dan kemudian terjadi akibat yang serius atau fatal karena penundaan tersebut, justru dokter dapat dituntut karena kelalaian.

  33. B. Pembiusan ( Anesthesia ) Pasal 89 KUHP menyatakan membuat seseorang tidak berdaya atau pingsan, dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan. Mengingat sifat dan tanggungjawab yang khusus dari tindak pembiusan dalam suatu pembedahan Perlu informed concent tersendiri C. Operasi tambahan ( Extended Operation ) Secara hukum operasi tambahan tetap harus meminta izin tersendiri, kecuali bila patologi ( kelainan ) itu akan membahayakan jiwa pasien bila tidak diambil tindakan segera.

  34. D. Blanket concent adalah formulir pernyataan persetujuan yang mencantumkan “... Saya (baca: Pasien) menyetujui segala tindakan medik yang akan dilakukan dan membebaskan dokter dari segala tuntutan hukum”. Dari sudut Hukum Pidana maupun Hukum Perdata atau Administratif, jelas bahwa sebenarnya tidak mempunyai kekuatan hukum sama sekali. Harus ditegaskan sekali lagi bahwa pemenuhan atas Standart Profesi Medik (SPM) dan inform concent dalam arti sebenar – benarnya, telah cukup untuk membebaskan dokter dari pelbagai tuntutan ataupun gugatan hukum.

  35. Implikasi keberadaan Informed Concent • Apakah dengan informed concent itu dokter kemudian dapat bertindak sekehendak hatinya ? • Apakah informed concent itu juga berarti bahwa pasien menyetujui tindakan-tindakan dokter yang bertentangan dengan SPM ? • Apakah dengan keberadaan informed concent, segala akibat (terutama yang negatif) yang timbul kemudian tetap menjadi tanggung jawab dokter seluruhnya, meskipun dokter telah memenuhi SPM ?

  36. Implikasi keberadaan Informed Concent Bila dokter telah memenuhi informed concent dan SPM, tetapi timbul juga akibat negatif yang tidak sesuai dengan harapan, maka dokter tersebut tidak dapat dipidana ataupun membayar kerugian apapun. Harus diingat bahwa selalu ada kemungkinan tujuan tindak medik tidak tercapai ataupun risiko-risiko yang tidak dapat diperkirakan atau hal-hal lain yang secara hukum tidak dapat dilimpahkan tanggungjawabnya kepada dokter yang melakukan tindak medik tersebut.

  37. Dasar-dasar Peniadaan Hukuman dalam Hukum Kedokteran Guwandi menyusun sistematika untuk beberapa dasar peniadaan hukuman atau kesalahan khusus bidang medik : • Risiko pengobatan (risk of treatment ) a. Risiko yang inheren atau melekat b. Reaksi alergik c. Komplikasi dalam tubuh pasien 2. Kecelakaan medik ( medical accident ) • Kekeliruan penilaian klinis ( Non-negligent error of judgement ) • Volenti non fit iniura • Contributory negligence

  38. Dalam tindakan medik, selalu ada risiko yang melekat pada tindak medik tersebut. • Apabila dokter melakukan tindakan medik dengan hati-hati, seiizin pasien dan berdasarkan SPM, tetapi ternyata risiko itu tetap terjadi, maka dokter tidak dapat dipersalahkan. Demikian pula bila terjadi reaksi alergi yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya, seperti halnya komplikasi yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya • Dalam hal terjadi kecelakaan medik, perlu direnungkan ucapan seorang hakim yang mengadili suatu perkara, yaitu “Kita memang mensyaratkan bahwa seorang dokter harus bertindak hati-hati pada setiap tindakan medik yang dilakukan. Namun demikian kita tidak dapat mencap begitu saja sebagai tindak kelalaian terhadap suatu yang sebenarnya adalah suatu kecelakaan”.

  39. Kekeliruhan penilaian klinis Teori respectable minority rule, menyebutkan bahwa seorang dokter tidak dianggap lalai apabila ia memilih salah satu dari sekian banyak cara pengobatan yang diakui oleh dunia kedokteran. Lord Denning (seorang hakim) menyatakan tentang kesalahan klinis, “ apabila seorang dokter selalu dianggap bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu atau bila tidak berhasil menyembuhkan, maka hal ini pada akhirnya akan merugikan masyarakat itu sendiri. Pada seorang profesional, suatu kesalahan dalam pertimbangan (error of judgement) bukanlah kelalaian. Mungkin pertimbangannya telah keliru, tetapi ia atau dokter lainpun tidak mungkin akan selalu benar”.

  40. Volenti Non Fit Iniura Didasarkan pada pandangan bahwa bila seseorang telah mengetahui adanya suatu risiko dan secara sukarela bersedia menanggung risiko tersebut, jika kemudian risiko itu benar-benar terjadi maka ia tidak lagi dapat menuntut ( He who willingly undertakes a risk cannot after wards complain ). • Contributory Negligence Digunakan untuk sikap-tindak yang tidak wajar dari pihak pasien, yang mengakibatkan kerugian atau cedera pada dirinya, tanpa memandang apakah pada pihak dokter terdapat pula kelalaian atau tidak. Sikap-tindak yang demikian ini, sengaja ataupun tidak sengaja dapat merupakan dasar peniadaan hukuman pada pihak dokter.

  41. Penulis-penulis lain juga menambahkan bahwa adanya dasar Peniadaan Hukuman tersebut tidak berarti kemudian dokter dapat bertindak menyimpang dari SPM dan informed concent Pemenuhan terhadap SPM dan informed concent merupakan satu-satunya ketentuan dasar untuk meniadakan sifat bertentangan dengan hukum dari suatu tindakan medik • Kesadaran hukum masyarakat yang semakin meningkat seharusnya disambut dengan gembiraoleh semua pihak dan menjadi dorongan agar para dokter lebih menghayati hukum yang melandasi profesinya. Perlu direnungkan suatu ucapan filsafat : if not we, then who? if no now, then when ?

  42. Kasus Prita “Versus” Akhlak DokterOleh HANDRAWAN NADESUL

  43. Penilaian dan sikap pengendalian masyarakat pasien sebagai sistem kontrol yang efektif terhadap eloknya layanan medis(Telaah Kisch & Reeder) Kasus Prita bukan cuma satu. Tak sedikit pasien kita yang dikecewakan dokter atau rumah sakit akhirnya merasa terabaikan Tanpa melacak apa di balik kasus itu, kasus Prita masih akan terus menjadi endemis. Anggapan bahwa “dokter selalu benar, pasien pasti salah” atau “mana mungkin pasien salah, dokter pasti salah” perlu dilempangkan. Dokter dan rumah sakit bukan pihak yang untouchable. Kerja profesi dokter sudah lengkap diberi “pagar”. Pendidikan etika kedokteran saat sekolah, sumpah dokter kepada Yang Maha Mengawasi saat lulus, dan selama berpraktik dokter dipandu oleh perangkat Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Perlindungan konsumen dan Undang-undang Praktik Kedokteran. Tiap dokter menginsafi semua itu.

  44. Dokter mau berbicara Bukan sikap kesengajaan profesi dokter kalau muncul kasus. Bukan karena semua dokter ingin melompati “pagar” yang disepakati. Lebih sering, ada yang lebih kuat dari hanya hukum dan regulasi jika praktik dokter tampil tak elok di mata pasien. Ada dua hal yang membuat kinerja profesi dokter tidak elok, yaitu komunikasi dokter dengan pasien dan akhlak dokter sendiri. Soal komunikasi, harus diakui, opini pasien ihwal penyakitnya belum tentu sama dengan opini medis. Makin terbatas wawasan medis pasien, makin banyak yang perlu dokter komunikasikan. Salah sangka pasien terhadap kasus medisnya lebih sering karena dokter menjawab pasien jika ditanya. Kasus Steven – Johnson misalnya. Ini kasus alergi hebat yang bisa mengancam nyawa pasien akibat obat atau suntikan. Kita tahu, dalam kondisi berobat, pasien kita umumnya tak memiliki “paspor” kesehatan selain tak punya dokter keluarga. Pasien kita umumnya selalu asing dimata dokter yang dikunjunginya.

  45. Secara medis, tanpa data lengkap pasien, sulit bagi dokter meramal reaksi alergi hebat yang mungkin menimpa pasien. Selain itu, karena keterbatasan waktu praktik, banyak dokter juga kurang mengorek kondisi medis pasien yang belum dikenal. Jika saja dokter lebih banyak bertanya, misalnya adakah bakat alergi, dan menjelaskan kemungkinan alergi hebat bisa terjadi sehabis berobat, dan sekiranya sampai muncul kasuspun, tentu tak sampai diopinikan sebagai malapraktik karena pasien sudah tahu jika resiko itu bakal terjadi. Hingga kini, kasus Steven-Johnson diopinikan masyarakat sebagai kesalahan pihak medis. Kasus Prita muncul karena tidak dibangun komunikasi dokter dengan pasien. Tanpa penjelasan apa yang dilakukan dokter dan yang akan dialami pasien serta akibat yang mungkin muncul dari berobat, keterbatasan wawasan pasien ihwal penyakitnya mungkin melahirkan opini miring yang justru merugikan dokter

  46. Merawat akhlak dokter Tiap dokter mengetahui kewajiban pribadi dan hak pasien. Bukan melalaikan keinsafan itu saja jika kasus malpraktik dan misconduct (bersikap judes, marah, tak ramah) masih muncul. Sejatinya kompetensi dokter dan pasien kelewat senjang. Otonomi dokter nyaris tak terbatas. Tanpa keindahan akhlak, praktik dokter tampil tidak profesional. Industri medis yang kita anut dan fakta yang merongrong moral dokter adalah rumah sakit harus berinvestasi dan perlu berhitung agar tetap melaba. Pasien yang dilayanipun melebihi jumlah dokter sehingga tergoda berpraktik hingga larut malam dengan konsekuensi praktiknya tidak lagi profesional berpotensi membahayakan pasien. Mengingat penghargaan pemerintah tak memadai, ada banyak dokter memilih menerima iming-iming dari perusahaan farmasi. Ini mengakibatkan harga obat mahal dan harus dipikul pasien.

  47. Praktik memberi obat yang tak perlu dan memilih yang lebih mahal (iatrogenic dan poly pharmacy) mencitrakan dokter tidak lagi melihat profesinya. Dokter dan rumah sakit bisa terjebak berlaku nakal dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien yang terperdaya jika orientasi profesi dokter hanya demi duit. Tanpa akhlak yang elok, hukum medis bisa ditekuk, regulasi medis bisa dilipat, dan dokter memanfaatkan kekuasaannya yang tinggi. Rekam medis sebagai satu-satunya bukti tindak malapraktik ada dibawah kekuasaan dokter. Otonomi profesi dokter kelewat tinggi sehingga jika akhlak dokter lumpuh, dokter bisa berkelit dari tudingan melakukan kesalahan. Hukum dan regulasi medis bisa ditaklukan. Namun, tidak demikian bila akhlak dokter terawat.

  48. Hak pasien harus difungsikan. Wawasan kesehatan masyarakat perlu bertambah cerdas agar lebih kritis dan skeptis atas layanan medis yang diterima. Sadar akan hak sebagai pasien dan kaya wawasan kesehatan membantu dokter merawat akhlaknya. Dokter tidak sembarangan melakukan pekerjaan profesinya. Kita sepakat, tak ada yang lebih berkuasa dari akhlak dalam keunggulan profesi apapun. Akhlak dokter tidak boleh dikalahkan oleh apapun dan tetap eling akan sumpah profesi yang merupakan janji kepada Yang Maha Melihat. Jadi, tak ada pilihan bagi dokter yang ingin tetap profesional, mendahulukan kepentingan pasien dan memilih berpraktik dengan hati. Handrawan Nadesul Dokter; Pengasuh Rubrik Kesehatan; dan Penulis Buku Sumber: KOMPAS, Sabtu 6 Juni 2009, hal 6

  49. TERIMA KASIH

More Related