1 / 1

Berangkat ke Tempat Pembuangan

Berangkat ke Tempat Pembuangan

Télécharger la présentation

Berangkat ke Tempat Pembuangan

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. Berangkat ke Tempat Pembuangan Sesudah kami menginjak geladak kapal KPM Melchior Treub, ternyata teman-teman dari Bandung sudah berada di sana lebih dahulu. Katanya, mereka jam 6.00 pagi sudah berangkat dengan kereta api. Ini berarti antara jam 10.00-11.00 pagi mereka sudah naik kapal. Sekarang suasana lebih ramai lagi. Kami saling melepas kangen satu sama lain. Tampaknya kapal KPM yang besar itu hanya tinggal menunggu kami saja. Sebab sesaat setelah kami melakukan temu keakraban, kapal sudah mulai bergerak meninggalkan pelabuhan. Dalam kapal, meskipun Bung Hatta dan Sjahrir diberi tempat di kelas dua, namun sehari-hari mereka selalu berkumpul dengan kami di geladak beserta polisi pengawal. Kapal Melchior Treub hanya singgah setengah hari di Surabaya dan berlabuh jauh dari dermaga, sehingga dijauhkan dari kerumunan simpatisan di pelabuhan. Selanjutnya kapal berlayar ke Makassar. Di pelabuhan ini kami dijemput dari tengah laut oleh kapal motor untuk menghindari perjumpaan dengan para pengikut PNI-Pendidikan yang tampak berkerumun di pelabuhan. Kami langsung dimasukkan ke dalam penjara kota itu, mengisi kamar lantai atas yang biasanya dipergunakan untuk tahanan orang-orang Eropa. Dalam penjara ini kerja kami sehari-hari hanya main catur dan dam-daman. Pada suatu hari terjadi riuh tawa, gara-gara Bung Hatta mengajukan teka-teki tentang kakkerlak dan warna pelangi yang mengundang banyak kelakar. Gelak-tawa itu berhenti setelah mendengar lonceng berbunyi jam 12.00 siang karena masing-masing harus makan siang. Selanjutnya, kami meninggalkan Makassar menuju Bandaneira dengan menumpang kapal Van der Wijk. Kapal ini lebih kecil daripada Melchior Treub, mungkin hanya sepertiganya. Alangkah bening dan jernihnya Laut Banda sehingga kami dapat melihat-lihat benda putih di dasarnya. Di pelabuhan ini tidak seperti biasanya, perahu-perahu kecil tidak diperbolehkan mendekati kapal besar yang kita tumpangi, karena di dalamnya banyak “penyakit pes tikus”, menurut istilah pers Belanda kalau memaki pejuang kemerdekaan. Perjalanan dilanjutkan menuju Ambon. Di tengah jalan kami menjumpai keindahan alam yang tak mungkin didapatkan di daratan. Di sebelah timur kami menyaksikan bulan purnama terbit, sedang di sebelah barat kami melihat matahari mulai terbenam. Sesampainya di Ambon kami ditempatkan dalam ruangan kantor polisi di pinggir jalan yang sunyi. Artinya di jalan itu kami tidak pernah mendengar ada suara mobil menderu, selain nampak beberapa sepeda yang lewat. Kalau tak lupa, istri Maskun dan istri Murwoto diperkenankan jalan-jalan ke luar, karena memang mereka bukan orang buangan. Kepergiannya hanya sekadar turut sang suami. Moh. Bondan, Pribadi Manusia Hatta, Seri 6, Yayasan Hatta, Juli 2002

More Related