1 / 51

BERBAGAI MASALAH HUKUM ACARA DALAM PRAKTEK PERADILAN AGAMA

BERBAGAI MASALAH HUKUM ACARA DALAM PRAKTEK PERADILAN AGAMA. Oleh : PROF. DR. H. ABDUL MANAN, SH.,SIP.,M.Hum. A. MASALAH-MASALAH DALAM GUGATAN. I. Pendahuluan.

oberon
Télécharger la présentation

BERBAGAI MASALAH HUKUM ACARA DALAM PRAKTEK PERADILAN AGAMA

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. BERBAGAI MASALAH HUKUM ACARA DALAM PRAKTEK PERADILAN AGAMA Oleh : PROF. DR. H. ABDUL MANAN, SH.,SIP.,M.Hum.

  2. A. MASALAH-MASALAH DALAM GUGATAN I. Pendahuluan. • Menurut Darwan Prints, SH. (1992;1)----------Gugatan adalah suatu upaya atau tindakan untuk menuntut Hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya guna memulihkan kerugian yang diderita oleh Penggugat melalui putusan Pengadilan. • Menurut Sudikno Mertokusumo (1979;29)-----Gugatan adalah tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan yang diberikan oleh Pengadilan untuk mencegah perbuatan main Hakim sendiri (eigen richting)

  3. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa Gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Pengadilan yang berwenang tentang suatu tuntutan terhadap pihak lain agar diperiksa sesuai dengan prinsip keadilan terhadap gugatan tersebut

  4. Cara penyelesaian perkara lewat Pengadilan tersebut diatur dalam Hukum Acara Perdata (Burgelijk Procesrecht atau Civil Law of Procedure) • Suatu tuntutan hak yang akan diajukan kepada Pengadilan yang dituangkan dalam sebuah gugatan haruslah mempunyai “kepentingan hukum”

  5. Pengadilan hanya berkewajiban mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya hanya perkara kontensius saja, sedangkan perkara yang bersifat Volunter hanya dibenarkan memeriksanya kalau peraturan perundang-undangan memperbolehkannya------”poin d’interest, poin d’action” atau “ geen belaang geen actie” yang artinya ada sengketa ada perkara.

  6. II. TENTANG GUGATAN TERTULIS DAN LISAN. • Pasal 120 HIR/Pasal 144 ayat (1) R.Bg.---- gugatan dapat diajukan secara lisan. • Pasal 118 HIR/Pasal 142 (1) R.Bg.----- gugatan dapat juga diajukan secara tertulis. • Dalam praktek orang membuat gugatan cenderung mengacu pada Pasal 8 ayat (3) Rv----- surat gugat itu harus disusun secara sistematis dengan unsur-unsur identitas para pihak, dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar gugatan (fundamentum petendi atau posita yang terdiri dari peristiwa kejadian dan peristiwa hukum) dan petitum.

  7. Dalam Hukum Acara Perdata dikenal dua teori tentang cara menyusun gugatan yaitu : • Substantiering Theori-------yaitu teori yang menyatakan bahwa gugatan selain harus menyebutkan peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menyebut kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum tersebut.

  8. Individualisering Theorie----teori ini menyatakan bahwa dalam membuat surat gugatan cukup ditulis yang pokok-pokoknya saja, tanpa harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului dan menjadi sebab timbulnya kejadian-kejadian tersebut.

  9. Dalam pasal 120 HIR dan pasal 114 ayat (1) R.Bg. Dikemukakan bahwa jika orang yang menggugat buta huruf, maka gugatan dapat diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan dan selanjutnya Ketua Pengadilan mencatat segala hal ikhwal gugatan itu dalam bentuk tertulis. • Permasalahannya apakah bagi Penggugat yang buta huruf, menyimpang dari Pasal 120 HIR & Pasal 114 ayat (1) R.Bg. yaitu gugatan di buat oleh kuasanya atau Notaris ?

  10. III. ADVOKAT/KUASA HUKUM • Advokat/Kuasa hukum yang telah menerima kuasa untuk beracara di muka sidang Pengadilan wajib membuat surat gugat secara tertulis dengan memformulasikan minimal sebagaimana yang tersebut dalam pasal 8 Nomor 3 Rv. (Putusan MA No. 369 K/Sip/1973, tanggal 4 Desember 1975). • Formasi surat gugat, identitas Penggugat/ Tergugat tetap harus ditulis identitas pihak Penggugat materiel yang diakhiri dengan pemberi kuasa pada Penggugat/Tergugat

  11. Sebaiknya identitas para pihak supaya ditulis lengkap (pengembangan dari apa yang tertulis dalam UU No. 7 Tahun 1989). • Diwajibkan dalam posita menyebutkan tentang peristiwa kejadian dan peristiwa hukum. • Penyebutan perlu sita supaya di tulis dalam Posita dan pada Petitum permintaan sah dan berharganya sita.

  12. 6. Kuasa Para Pihak Dalam Perkara Perdata • Pasal 123 HIR & 147 R.Bg.---dalam hal tertentu para pihak yang berperkara dapat mewakilkan kepada pihak lain untuk beracara di muka sidang Pengadilan. • Pasal 1792 BW---- (lastgeving) kuasa adalah suatu persetujuan dimana seseorang memberi kuasa kepada pihak lain dan pihak lain bertindak sebagai penerima kuasa untuk melakukan suatu perbuatan (tindakan) untuk dan atas nama pemberi kuasa

  13. 7. Sifat dari Pemberian kuasa adalah • Pertama : penerima kuasa langsung berkedudukan sebagai wakil pemberi kuasa yang segala tindakannya langsung mengikat terhadap diri pemberi kuasa. • Kedua : pemberi kuasa bersifat bersifat konsensual. • Ketiga : berkarakter gransi.

  14. 8. Kuasa dapat berakhir secara sepihak ---- pasal 1813 BW dan 1841 BW. 9. Hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa secara sepihak adalah : a. Kuasa dicabut secara sepihak oleh pemberi kuasa. b. Pemberi kuasa meninggal dunia.(1813 BW). c. Kuasa melepas kuasa (opzegging/release)—(1817 BW)

  15. 10. Subyek yang dapat menerima kuasa • Advokat atau Pengacara (harus SH) lihat Stb.1848 No. 57. • Individu atau Perorangan (lihat surat TUADA ULDILTUN yang ditujukan kepada Ketua PT. Denpasar No. MA/KUMDIL/8810/IX/87). • LBH Fakultas Hukum (lihat Surat Dirjen Pembinaan Badan Peradilan No. 0466/SEK/DP/1974/Tgl. 12-10-1974. • UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, (Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik dalam maupun di luar Pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini.

  16. 11. Syarat-syarat Penerima Kuasa • Harus ada surat kuasa khusus (lihat Pasal 123 (1) HIR dan 147 (1) R.Bg). • Gugat lisan dicatat dalam surat gugat yang dibuat oleh Hakim (lihat Pasal 123 (1) HIR dan 147 (1) R.Bg). • Kuasa dapat ditunjuk langsung dalam sidang oleh para pihak. • Kuasa dapat ditunjuk sebelum perkara didaftarkan ke Pengadilan oleh para pihak dengan surat kuasa khusus. • Memenuhi ketentuan Surat Menkeh No. 1 Tahun 1965 tanggal 28 Mei 1965 Jo. Kep. Menkeh No. JP. 14/2/II tanggal 7 Oktober 1965. • Telah terdaftar sebagai Advokat atau Pengacara

  17. 12. Surat Kuasa Khusus Memuat :(Lihat SEMA RI No. 31/P/169/M/1059 Tgl.19 Januari 1959) • Identitas Pemberi dan Penerima Kuasa • Nama forum atau Pengadilan tempat beracara (PA Jaktim, PA Bogor dll.) • Apa yang menjadi pokok sengketa (hal ini tentang menunjukkan kekhususan perkara, seperti perikatan, waris, hibah dll.) • Pentelaah isi surat kuasa yang diberikan oleh para pihak, wewenang yang diberikan oleh pemberi kuasa, sejauh mana kuasa khusus diberikan oleh para pihak ? • Memuat hak substitusi • Dibuat dengan cermat dan terang • Pemateraian sesuai dengan UU No. 13/1985 Ttg. Materai • Kuasa merupakan perjanjian sepihak (Psl. 123 HIR) bisa dicabut sewaktu waktu

  18. 13. Macam dan cara penunjukan kuasa (Ps.123 HIR/147 R.Bg. & 1795 BW) 13. Macam dan cara penunjukan kuasa (Ps.123 HIR/147 R.Bg. & 1795 BW) • Kuasa Umum----1795 BW. • Kuasa Istimewa----1796 BW jo. 157 HIR dan 184 R.Bg. • Kuasa berdasarkan hukum---123 ayat (2) HIR, 147 ayat (2) R.Bg.----- wettelijke vertegen woordig. Atau legal representative. • Surat Kuasa Khusus.---123 HIR & 147 R.Bg.---- bijzondere schiftelijke machtiging.

  19. IV. PERMASALAHAN FORMAL GUGATAN 1. Kompetensi meliputi: • Kompetensi absolut. (Absolute competency) • Kompetensi Relatip. (Relative competency): 1) Actor Suquatur Forum Rei (Forum domicili) 2) Actor Suquatur Forum Rei Sitae. • Domicili Pilihan. Masalahnya : Jika sudah diperjanjikan sebelumnya bahwa bila timbul sengketa akan diselesaikan oleh Pengadilan tertentu, bolehkan gugatan diajukan di Pengadilan lain ?

  20. 2. Patokan Obscur Libel • Posita tidak menjelaskan dasar hukum. • Tidak jelas obyek yang disengketakan. • Penggabungan gugatan yang berdiri sendiri. • Terdapat saling bertentangan antara posita dan petitum. • Petitum tidak terinci, tetapi hanya berbentuk kompositur atau ex aequo et bono.

  21. 3. Patokan Error in Persona. a. Diskualifikasi in persona. 1) Penggugat bukan persona standi in judicio - Belum Dewasa - Bukan orang yang mempunyai hak dan kepentingan - Dibawah kuratale 2) Bila kuasa yang bertindak tidak memenuhi syarat yang ditentukan - Tidak mendapat kuasa - Surat kuasa khusus tidak sah • Gemis Aanhoedaning Heid. - orang yang ditarik sebagai Tergugat tidak sah contohnya (Pengurus Yayasan tapi digugat secara pribadi) • Plurium Litis Consortium. - Orang yang ditarik sebagai Tergugat tidak lengkap

  22. 4. Tentang Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum Perbedaannya adalah : a. Ditinjau dari segi sumber. 1) Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement) 2) Perbuatan melawan hukum lahir karena UU. b. Ditinjau dari segi timbulnya hak menuntut. 1) Pada wanprestasi diperlukan lebih dahulu proses. 2) Pada Perbuatan Melawan hukum tidak diperlukan somasi. c. Ditinjau dari segi tuntutan ganti rugi (compensation) 1) Pada wanprestasi perhitungan ganti rugi dihitung sejak saat terjadi kelalaian (1237 BW) 2) Pada Perbuatan Melawan Hukum, tidak menyebut sama sekali ganti rugi yang bagaimana bentuknya dan tidak memerlukan perincian.

  23. d. Pasal 1365 BW syarat-syarat perbuatan melawan hukum adalah : 1) Harus ada perbuatan. 2) Perbuatan itu harus melawan hukum. 3) Ada kerugian. 4) Ada hubungan sebab akibat antara PMH dengan kerugian. 5) Ada kesalahan.

  24. e. Arrest Lenden Baoen Cohen tanggal 31 Januari 1919, PMH ada 4 kriteria meliputi: 1) Bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku. 2) Melanggar hak subyektif orang lain. 3) Melanggar kaedah susila 4) Bertentangan dengan asas-asas kepatutan.

  25. VII. Tentang Class Action • Asas Persona standi in judicio----- siapa yang berkepentingan dialah yang harus menggugat. • Class Action-----diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2002, yaitu gugatan perwakilan kelompok yang merupakan suatu tata cara pengajuan gugatan dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri atau diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota dimaksud. • Class Action sudah diatur pula dalam UU No. 23 Tahun 1997 (UUPLH), UU No. 8 tahun 1999 (UUPerlindungan Konsumen) dan UU No. 41 tahun 1999 (UU Kehutanan)

  26. Penjelasan Pasal 37 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 yang menjelaskan “yang dimaksud hak mengajukan gugatan perwakilan pada ayat ini adalah hak kelompok kecil masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”. Penjelasan Pasal 37 ayat (1) tersebut di atas merumuskan bahwa: gugatan perwakilan diartikan sebagai hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar. • Penjelasan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini disebutkan: “Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: a. ………………………………….. b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama”

  27. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 46 ayat (1) dinyatakan “Undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau Class Actions. Gugatan kelompok atau Class Action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi”. • Penjelasan Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan: “Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat”.

  28. VIII. PEMANGGILAN PARA PIHAK • Asas resmi dan patut • Panggilan dalam wilayah yurisdiksi --- langsung kepada para pihak, kalau tidak dijumpai disampaikan melalui Kepala Desa/Lurah • Panggilan di luar wilayah yurisdiksi ----- harus meminta bantuan kepada Pengadilan di wilayah tempat tinggal Penggugat/Tergugat • Panggilan di luar negeri ---- harus dipanggil melalui Dirjen Protokol & Konsuler Deplu, tembusan ke Dubes Negara tempat tinggal para pihak yang dipanggil • Panggilan bagi perkara prodeo ditanggung oleh Pengadilan yang bersangkutan

  29. 6. Masalah-Masalah Dalam Panggilan • Bolehkah surat panggilan kepada keluarganya ? • Bolehkah surat panggilan tidak diserahkan melalui Kepala Desa/Lurah tapi melalui RT/RW ? • Panggilan yang dikirim kepada Tergugat berada di LN, melalui dengan Protokol & Konsuler Deplu Apakah Hakim perlu menunggu Relaas kembali ? • Bagaimana jalan keluar apabila PA yang diminta bantuan panggilan tidak melakukan pemanggilan sesuai yang ditentukan oleh peraturan yang berlaku ? • Bolehkah panggilan dilakukan dengan alat-alat elektronik ?

  30. B. MASALAH-MASALAH DALAM PEMBUKTIAN I. Pendahuluan. • Menurut Prof. Subekti, SH. (1975;5) : pembuktian adalah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. • Teguh Samudra, SH. (1992;12) : pembuktian berarti menjelaskan (menyatakan) kedudukan hukum yang sebenarnya berdasarkan keyakinan Hakim kepada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang bersengketa. • Dasar hukum Pembuktian : • Pasal 163 s/d 185 R.Bg. • Pasal 137 s/d 158 HIR, • Pasal 162 s/d 177 HIR, • Stb.1867 No. 29, • 1865 s/d 1945 KUHPerdata.

  31. II. Pembuktian Dalam Acara Verstek (Devault) • Dasar hukum beracara verstek diatur dalam pasal 125 s/d 129 HIR dan pasal 149 s/d 153 R.Bg. • Putusan Verstek artinya putusan yang dijatuhkan oleh Majelis diluar hadirnya Tergugat, ketidakhadirannya itu tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut. • Acara Verstek ------ Default Procedure.

  32. Menjatuhkan putusan verstek bukan Imperatif, tetapi bersifat fakultatif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 126 HIR dan bersifat alternatif jika didasarkan pada Pasal 125 HIR yang dikaitkan dengan pasal 126 HIR tersebut. • Dalam pemeriksaan perkara yang berkaitan dengan Hukum Benda (zaaken recht) para hakim tidak ada salahnya menjatuhkan putusan Verstek tanpa pembuktian sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 125 ayat 1 HIR. • Tetapi dalam perkara yang menyangkut personal Recht (hukum orang) terutama hal-hal yang menyangkut perkawinan dan perceraian sebaiknya tidak secara langsung memutus secara Verstek tanpa pembuktian

  33. Tetapi dalam perkara yang menyangkut personal Recht (hukum orang) terutama hal-hal yang menyangkut perkawinan dan perceraian sebaiknya tidak secara langsung memutus secara Verstek tanpa pembuktian, meskipun gugatan Penggugat bersandar hukum dan beralasan.

  34. III. Pembuktian Hak Milik Atas Tanah • Hak Milik atas Tanah hanya dapat dibuktikan dengan sertifikat yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang (sekarang Kantor Pertanahan Nasional)----Undang-Undang No. 5 tahun 1960. • Sertifikat adalah salinan buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria--- Pasal 13 PP No. 9 Tahun 1961.

  35. Dalam praktek alat bukti kepemilikan atas tanah macamnya meliputi : • Sertifikat pengganti. • Surat Ukur Tanah dan Peta Tanah. • Gambar situasi. • Surat Ketetapan pajak yang berbentuk Kititir di Jabar, Girik di Jateng dan DIY, Pipil / Petuk di jatim, Ireda Ipeda, Letter C / D dan sejenisnya. • Surat Penunjukan penggunaan tanah atau lebih dikenal dengan SPPT.

  36. Apakah Hakim berwenang membatalkan Sertifikat Hak Milik atas tanah yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Nasional ? • Menurut I. Rubini, SH. dan Chaidir Ali, SH. (1974:88) : Surat atau akta adalah suatu benda (bisa kertas, kayu, daun lontar) yang memuat tanda-tanda baca yang dapat dimengerti dan menyatakan isi pikiran yang diwujudkan dalam suatu surat. • Menurut Sudikno Mertokusumo,SH. (1977;95) : surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.

  37. Dari dua definisi tadi dapat diketahui bahwa untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti ditekankan kepada adanya tanda-tanda bacaan yang menyatakan buah pikiran. Jika ada suatu benda yang memuat tanda bacaan akan tetapi tidak menyatakan buah pikiran maka hal tersebut tidak termasuk alat pembuktian tertulis. Misalnya : gambar-gambar, foto-foto,peta, denah.

  38. Surat sebagai alat bukti dapat dibedakan sebagai berikut : • Akta yang bersifat Authentik. • Akta dibawah tangan. • Surat yang bukan akta. • Pasal 1867 – 1980 KUHPerdata & pasal 165 dan 167 HIR ------ tidak setiap surat merupakan Akta. • Dapat dikatakan akta kalau surat itu ditandatangani, dibuat dengan sengaja untuk keperluan pembuktian dan untuk keperluan siapa surat itu dibuat.

  39. Dalam UU. No. 5 Tahun 1960 dan PP No. 10 Tahun 1961 tidak mengatur secara tegas dan rinci tentang kewenangan Hakim untuk membatalkan sertifikat hak Milik atas tanah yang dimiliki oleh seseorang. • Hakim hanya berwenang menyatakan Sertifikat itu tidak mempunyai kekuatan hukum tidak sampai membatalkan sertifikat tersebut. Hakim punya wewenang hanya pada penentuan siapa menurut hukum berdasarkan alat bukti yang sah berhak atas tanah yang diperselisihkan tersebut.

  40. Putusan MA No. 716 K/Sip/1973 tanggal 5 September 1973---- pencabutan dan pembatalan Sertifikat hak Milik atas tanah adalah menjadi wewenang Kantor Pendaftaran dan pengawasan Pendaftaran Tanah (sekarang BPN) bukan termasuk wewenang Pengadilan maka gugatan Penggugat mengenai pencabutan Sertifikat hak milik atas tanah No.171 tidak dapat diterima.

  41. Demikian juga putusan MA No. 383 K/Sip/1971----- bahwa menyatakan batal surat bukti sertifikat yang dikeluarkan oleh Instansi Agraria secara sah tidak termasuk wewenang Pengadilan, melainkan semata-mata termasuk wewenang administratif, sehingga pihak yang dimenangkan wajib minta pembatalan surat bukti hak itu kepada instansi Agraria berdasarkan putusan Pengadilan yang diperolehnya. (Kurdianto,SH.; 1991;134).

  42. IV. PEMBUKTIAN SIMPANAN BANK DAN SURAT-SURAT BERHARGA. • Simpanan bank adalah simpanan dana yang dapat berbentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. • Surat berharga adalah surat yang berbentuk saham, pengakuan hutang, wesel, cek, aksep, bilyet giro, obligasi, surat berharga komersial (commersial paper), sekuritas kredit atau juga surat derivatifnya.

  43. Dalam sengketa kewarisan peraturan perbankan memberikan peluang dibukanya rahasia bank, berdasarkan permintaan ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan yang telah meninggal dunia, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk melakukan pembuktian berdasarkan keterangan dari nasabah penyimpan dan simpanannya (lihat Pasal 44 a UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 jo. SK. Direksi BI Nomor 31/82/Kep/DIR tanggal 13 Desember 1998)

  44. V. Pembuktian Dengan Putusan Hakim dan Arbitrase asing. • Menurut Andi hamzah (1986;485) : Putusan adalah hasil kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk putusan tertulis. • Menurut Sudikno Mertokusumo (1988;167-168) : Putusan adalah sutau pernyataan oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di dalam sidang yang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak yang berperkara.

  45. Putusan Pengadilan merupakan akta authentik dengan tujuan untuk dapat dipergunakan sebagai alat bukti bagi pihak-pihak yang berperkara. • Putusan Hakim Asing tidak dapat dijadikan alat bukti di Pengadilan Indonesia, ketentuan ini juga berlaku terhadap putusan hakim Arbitrase Asing, kecuali antar negara Indonesia dengan negara Asing itu telah diadakan perjanjian tentang pelaksanaan putusan Pengadilan negara asing atau Arbitrase asing untuk dapat dilaksanakan di negara masing-masing.

  46. Dalam hal ini Pemerintah RI pernah mengeluarkan Kepres No. 34 tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981 tentang : “Convention on The Recognation and Enforcement of Foreign arbitral Award” • Mahkamah Agung telah mengeluarkan Perma No. 1 tahun 1990 tanggal 1 Maret 1990 tentang Tata Cara Putusan Arbitrase Asing ---- MA memberi wewenang kepada PN Jakarta Pusat untuk menangani masalah –masalah yang berhubungan dengan pengakuan serta pelaksanaan putusan Arbitrase asing sesuai Kepres No. 34 tahun 1981 tersebut. • Dalam hal pelaksanaan putusan Arbitrase asing tersebut di luar daerah yurisdiksi PN. Jakarta Pusat maka PN Jakarta Pusat meminta bantuan Pengadilan negeri lain.

  47. Dalam hal pemberian kekuatan hukum bagi Putusan Hakim asing, maka dapat dibedakan dalam hal sebagai berikut : • Putusan hakim asing merupakan suatu fakta hukum saja. • Kekuatan pembuktian suatu putusan Hakim Asing dapat dianggap sebagai suatu authentik. • Sebagai subyek persengketaan. • Kekuatan mengikat suatu putusan Hakim asing.

  48. VI. Pembuktian Dengan Persaksian Testimonium De Auditu. • Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 168-172 HIR, Pasal 306-309 R.Bg. dan Pasal 1895 s/d 1908 KUHPerdata. • Kesaksian Testimonium De Auditu adalah keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain, mereka tidak melihat, merasakan, dan mengalami sendiri peristiwa yang sedang diperselisihkan itu.

  49. Sebahagian Pakar menyatakan saksi Testimonium de auditu tidak ada harganya. ( Pasal 171 HIR dan pasal 1944 KUHPerdata). • Dalam pandangan Moderen persaksian Testimonium De Auditu sah-sah saja untuk dipergunakan sebagai dasar untuk memutus suatu perkara.Mahkamah Agung dalam Putusan No. 239 K/Sip/1973 tanggal 23 Nopember 1975 telah memberi putusan dengan membenarkan pemakaian saksi testimonium de auditu dengan pertimbangan bahwa keterangan saksi secara umum sudah tidak ada lagi, yang ada hanya keterangan secara turun temurun, segala perbuatan atau peristiwa hukum yang terjadi sejak dulu tidak pernah dibuktikan dengan surat-surat atau dokumen penting.

  50. VII. KONTRUKSI PERSIDANGAN • Perdamaian • Pembacaan surat gugat • Jawaban Tergugat Eksepsi Pokok Perkara • Replik • Duplik • Pembuktian Surat-surat • Alat-alat bukti (164 HIR) Saksi-saksi Pengakuan Persangkaan (dugaan) • Kesimpulan sidang Sumpah • Putusan

More Related