1 / 16

Resensi Carok Madura

Resensi terhadap karya Bapak Dr Latif Wiyata, yakni Carok di Pulau Madura

Télécharger la présentation

Resensi Carok Madura

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. Resensi bukuCarok: konflik kekerasan dan harga diri orang maduraDr. A. Latief wiyata

  2. Carok • Latar Belakang • Pada umumnya, orang luar Madura cenderung mengartikan setiap bentuk yang dilakukan oleh orang madura sebagai carok. Padahal dalam kenyataan tidak demikian; • Carok selalu memberi kesan menakutkan pada orang luar; • Kesan ini sebagai salah satu alasan tidak mau mengadakan penelitian di Madura; • Studi yang secara khusus mempelajari tentang carok masih belum banyak dilakukan, maka peneliti tergerak untuk meneliti tentang Carok.

  3. Teori tentang Kekerasan • A. Menurut Abbink (1994: 13-15), dalam beberapa dekade terakhir teori tentang kekerasan yaitu antara lain : • 1) Teori Ekologi kultural • 2) Teori materialis kultural • 3) Teori politik atau ekonomi politik • 4) Teori biologi evolusi atau bio sosial • 5) Teori psikologis psikoanalitis • 6) Teori deskriptif historis atau partikularis • 7) Teori simbolik. • B. Dari sekian banyak teori tentang tindakan kekerasan, penelitian ini tidak a priori. • C. Teori yang digunakan adalah • 1. Teori Ekologi Kultural • 2. Teori Materialis Kultural

  4. Kondisi Sosial Budaya Madura • Letak dan Keadaan Alam • Terdiri dari 4 kabupaten yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep; • Terletak di antara 7 LS dan 112° sampai 114° BT; • Iklim di Madura terbagi 2 musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau; • Madura adalah wilayah kering dan gersang; • Lahan pertanian berupa tegal, yang biasanya oleh penduduk ditanami jagung dan singkong dan sawah hanya bisa di tanami ketka hujan (tadah hujan). • 2. Penduduk dan mata Pencaharian • Tahun 1994 adalah 2.979.596 jiwa, rata rata 561,8 per km2; • Masyarakat sebesar 70% - 80% bergantung pada kegiatan agraris; • Madura termasuk salah satu darah paling miskin di Indonesia.

  5. 3. Pola Pemukiman • A. Kampong Meji • Kelompok pemukiman penduduk desa yang satu sama lain saling terisolasi, dan jaraknya berkisar 1 – 2 km. • Konsekuensi sosial kampong mejhi adalah solidaritas internal antar masing masing anggota menjadi sangat kuat • B. Taneyan Lanjeng • taneyan lanjeng hanya dibangun oleh suatu keluarga yang memiliki banyak anak perempuan • Kultural sosial budaya Madura memberikan perhatian serta proteksi secara khusus (berlebihan/over protektif) terhadap kaum perempuan.

  6. 4. Stratifikasi Sosial dan Tingkatan Bahasa • Secara garis besar stratifikasi/ pelapisan sosial masyarakat madura meliputi 3 lapis, yakni : • oreng kene’ atau oreng dume’ • Lapisan sosial menengah atau pongghaba meliputi para pegawai terutama yang bekerja sebagai birokrat • Bangsawan keturunan langsung raja raja. • Pelapisan sosial yang mengacu pada dimensi agama, yaitu: • santre(santri); • benni santre (bukan santri. • Dalam konteks carok, peranan sementara kiai cukup dominan, para calon pelaku carok mersa perlu nyabis kepada mereka dengan tujuan memperoleh restu, juga untuk apaghar ataumeminta azimat.

  7. 5. Sistem Kekerabatan • Ikatan kekerabatan dalam masyarakat Madura terbentuk melalui keturunan keturunan, baik dari keluarga berdasarkan garis ayah maupun garis ibu. Dalam sistem kekerabatan masyarakat Madura dikenal 3 kategori sanak keluarga, yaitu : • taretan dalem (kerabat inti); • taretan semma’ (kerabat dekat); • taretan jeu (kerabat jauh). • Di luar ketiga kategori ini disebut oreng lowar atau bukan saudara.

  8. 6. Bhaladan Moso • Sebagaimana pada kebudayaa lain, dalam kehidupan masyarakat Madura dikenal pula adanya bentuk relasi sosial yang biasa disebut sebagai teman (kanca/bhala) dan musuh (moso). • Kedua macam bentuk relasi sosial ini berada dalam suatu rentang tingkat keakraban, yang pada dasarnya masing masing berada pada titik ekstrim. • Dalam konteks ini, peristiwa carok pada dasarnya ,merupakan manifestasi dari relasi sosial yang tingkat keakrabannya sangat rendah karena di dominasi secara signifikan oleh rasa permusuhan.

  9. Kasus Carok dan Motifnya • A. Kasus Kasus Carok bermotif gangguan terhadap istri • 1. Cemburu Membawa Mati; • 2. Cemburu dan Persaingan • Bisnis; • 3. Cemburu kepada Tetangga. • B. Kasus Kasus Carok bermotif selain Gangguan terhadap Istri • 1. Mempertahankan Martabat; • 2. Merebut harta Warisan; • 3. Membalas Dendam Kakak Kandung.

  10. Makna dan Konteks Sosial Budaya Carok • 1. Semua kasus carok di awali konflik yang beragam, namun semuanya mengacu pada akar yang sama, yaitu perasaan malu karena pelecehan harga diri • 2. Untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan mereka melakukan carok, yang ternyata selalu mendapat dukungan dari lingkungan sosial. • Maka dapat diartikan carok adalah suatu tindakan pembunuhan mengunakan senjata tajam dan dilakukan oleh orang laki laki terhadap laki laki lain yang dianggap telah melakukan pelecehan terhadap harga diri (baik secara individu sebagai suami maupun secara kolektif), terutama berkaitan dengan masaah kehormatan istri sehingga membuat malo (malu).

  11. Dengan demikian, pengertian carok paling tidak harus mengandung lima unsur, yaitu : • 1. Tindakan atau upaya pembunuhan antar laki laki; • 2. Pelecehan harga diri; • 3. Perasaan malu; • 4. Adanya dorongan atau dukungan serta persetujuan sosial; • 5. Perasaan puas dan bangga bagi pemenangnya.

  12. Diskusi • ►►►Kelebihan isi Buku • Studi serius dan pertama kali dilakukan yakni studi etnografis yang sanga rinci tentang 6 kasus Carok di Bangkalan; • Menjawab beberapa pertanyaan pokok tentang carok, seperti apakah carok, kapan orang madura mengambil jalan kekerasan ini, apakah artinya kejadian ini bagi mereka, dan mengapa tindakan ini mendapat dukungan keluarga; • Penulis melakukan perbandingan dan analisis mendalam terhadap beberapa kasus carok, dan mampu memberi wawasan yang lebih luas (Huub de Jonge dalam Latif Wiyata, 2002:ix-xi). • Penjelasan dalam buku ini selalu melibatkan beberapa bahasa Madura yang menjadikan pendukung bahasa penulisannya; • Stigma negatif orang Madura dapat diminimalisasi sehingga dapat tercapai dalam suasana pluralitas budaya yang saling menghargai:

  13. Kekurangan isi Buku • Pada halaman 33-34 penulis menyimpulkan bahwa kondisi alam Madura gersang dan tandus sehingga kondisi pertanian tidak subur dan berakibat madura tidak produktif, namun menurut Samsul Ma’arif (2015: 191), keringnya cuaca dan rendahnya curah hujan di Pamekasan maupun Madura secara keseluruhan rupanya lebih cocok untuk pertumbuhan tanaman tembakau yang bisa menghasilkan mutu terbaik • Judul buku ini adalah Carok:Konflik kekerasan dan Harga diri orang Madura yang menurut saya kurang representatif, karena dilakukan hanya di Bangkalan, namun menurut Jurnal KARSA, Vol. 22 No. 1, Juni 2014, di Desa Bujur, Kecamatan Batumarmar, Kabupaten Pamekasan, budaya carok di desa ini adalah salah satu yang paling kuat dibandingkan desa-desa lain dan motifnya tidak hanya gangguan kepada istri;

  14. Lanjutan. . . • 3. Bagi orang Madura kiai adalah guru yang mendidik dan mengajarkan pengetahuan agama, yang memberikan tuntunan dan pedoman dalam menjalani kehidupan dunia dan akhirat (Abdur Rozaki, 2004:4), pada hal 191 dalam prasyarat sebelum melakukan carok, para pelaku harus apaghar (membentengi diri) dan meminta restu terhadap kiai untuk melakukan carok. • “Apakah seorang kiai sebagai guru, panutan di bidang agama akan merestui perbuatan kekerasan yang dilarang dalam agama islam ?” • 4. Analisis tentang respon masyarakat terhadap carok, pelaku carok, dan pemicu carok, semuanya dikonstruksi secara sama atau homogen. Respon masyarakat terhadap penyelesaian konflik cenderung sama, yaitu dengan cara carok dan nabeng, • “Apakah semua komponen masyarakat akan mempunyai pandangan yang sama bahwa penyelesaian konflik dengan carok dan nabeng” • 5. Keberadaan keluarga pelaku carok baik sebagai ‘pemenang’ maupun ‘korban’, membutuhkan kajian lebih lanjut. “Apakah seorang kiai sebagai guru, panutan di bidang agama akan merestui perbuatan kekerasan yang dilarang dalam agama islam ?” “Apakah semua komponen masyarakat akan mempunyai pandangan yang sama bahwa penyelesaian konflik dengan carok dan nabeng ?”

  15. LANJUTAN Sengko’ Edimmah Mak Tadek ? • 6. 6. Sakera dan carok seakan melekat tak terpisahkan. Orang Madura mengenal carok selalu menghubungkan dengan peristiwa Sakera sang mandor tebu, Munculnya clurit di Pulau Madura pun dihubungkan dengan sakera pada abad 18 M (Samsul Ma’arif, 2015:165-168), Namun dalam buku ini tidak disinggung sedikitpun.

  16. SEKIAN TERIMA KASIH

More Related