1 / 34

Administrasi, Nilai-nilai Judisial, dan Norma Pengawasan

Administrasi, Nilai-nilai Judisial, dan Norma Pengawasan. Oleh : Dr. Abdul Kadir, M.Si.

soniae
Télécharger la présentation

Administrasi, Nilai-nilai Judisial, dan Norma Pengawasan

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. Administrasi, Nilai-nilai Judisial, dan Norma Pengawasan Oleh : Dr. Abdul Kadir, M.Si.

  2. Pembuatan keputusan merupakan penopang utama kegiatan administrasi. Sebagian besar proses administrasi berupa serangkaian pemilihan alternatif tindakan atau pengambilan kebijakan. Waktu yang tersedia untuk mempertimbangkan keputusan-keputusan tersebut seringkali sangat sempit karena permasalahan yang ada membutuhkan penanganan segera.

  3. Pertimbangan efisiensi terkadang tidak memungkinkan bagi para pejabat pemerintah untuk berlama-lama memikirkan akibat dari suatu keputusan atau mencari landasan legalitas dari kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Karena itulah para pejabat pemerintah dituntut untuk mampu menjawab persoalan-persoalan secara pragmatis.

  4. Untuk mengambil keputusan-keputusan pragmatis ialah kenyataan bahwa rumusan-rumusan legal yang ada acapkali tidak mampu menjawab situasi permasalahan yang tengah dihadapi. Jarang sekali terdapat permasalahan yang secara esensial sama.

  5. Masalah datang silih berganti dan tidak akan pernah ada elemen masalah yang benar-benar dapat di tangani dengan cara yang sama. Setidak-tidaknya saat timbulnya masalah, pihak-pihak yang berkepentingan, rentang waktu untuk pembuatan keputusan, serta suasana ekonomis, sosial, dan politik yang dihadapi akan senantiasa berbeda.

  6. Masyarakat sendiri kadangkala menilai keunggulan seorang pejabat dari keberaniannya mengambil keputusan pada saat yang tepat, mereka lebih mengharap tindakan-tindakan yang nyata daripada retorika dan orientasi legalitas. Oleh sebab itu, dari sisi ini keputusan-keputusan pragmatis mempunyai legitimasi yang kuat.

  7. Orientasi kepada ancangan pragmatis juga dapat menghsilkan keputusan-keputusan yang berbahaya. Hanya karena waktu yang mendesak atau untuk memburu reputasi, banyak pejabat publik yang kemudian mengambil keputusan tanpa menghiraukan kaidah-kaidah hukum atau peraturan yang berlaku.

  8. Akibat dari keputusan-keputusan yang tergesa-gesa atau bahkan gegabah itu adalah justru semakin parahnya masalah yang harus ditangani, dan tidak jarang bisa membawa masalah-masalah baru. Ketika mengambil suatu kebijakan, para pejabat publik terkadang kurang bisa melihat keseluruhan aspek yang terkait dengan suatu permasalahan publik.

  9. Keputusan yang dihasilkan lebih merupakan preferensi individual meskipun peraturan atau kaidah yang mengatur tatacara penyelesaian masalah itu sudah digariskan secara jelas. Lebih dari itu, pembuatan kebijakan pragmatis kebanyakan hanya merupakan penyelesaian coba-coba (trial and error).

  10. Dalam mengambil kebijakan-kebijakan publik para pejabat punya kewajiban agar senantiasa merujuk kepada nilai-nilai judisial yang berlaku. Istilah judisial sengaja dipakai di sini untuk menekankan bahwa yang penting bukan sekadar acuan hukum-hukum formal atau sistem perundangan yang berlaku melainkan nilai-nilai keadilan yang dianut dalam ketatanegaraan dan kemasyarakatan.

  11. Menafsirkan dan merumuskan nilai-nilai judisial secara tepat merupakan tugas yang sulit karena orang dituntut untuk memahami konteks budaya, menyelami persepsi hukum dan kesadaran politis masyarakat, dan mengikuti perkembangan aspirasi rakyat. Namun itulah yang sesungguhnya merupakan sumber legitimasi kebijakan publik yang utama dalam arti etis maupun juridis.

  12. Maka dalam menjalankan tugas-tugasnya para pejabat pemerintah selalu berada di tengah-tengah kontradiksi antara pertimbangan pragmatis dan pertimbangan legalitas. Dia harus mampu menyeimbangkan antara preferensi pribadi, kemauan pembuat undang-undang, serta peraturan-peraturan yang berlaku dalam lembaga tempat dia mengabdi.

  13. Keputusan-keputusan yang dibuat pada akhirnya merupakan kompromi antara preferensi individu dengan preferensi umum yang kesemuanya diharapkan memakai landasan etika yang benar. Untuk membuat keputusan, seorang pejabat memiliki keleluasaan (discretion) tetapi juga sekaligus menghadapi kendala atau batasan (constraint). Jika ditinjau dari posisi lembaga birokrasi, terdapat pula pengertian kontrol internal (dari dalam lembaga) dan kontrol eksternal (dari luar lembaga).

  14. Hasil akhir dari keputusan yang baik biasanya merupakan kristalisasi dari kepemimpinan yang baik, profesionalisme, penyesuaian dengan sistem dan prosedur, pengalaman pribadi serta kemampuan persuasi pejabat yang bersangkutan.

  15. Kegagalan yang banyak dialami oleh orang yang berorientasi akademis dan mengandalkan ketaatan pada profesi dan prosedur ialah bahwa dia terlalu kaku dalam menerapkan peraturan, kurang memiliki keterampilan persuasi, dan lamban dalam bertindak.

  16. Kegagalan orang yang berorientasi pragmatis disebabkan karena dia sering tidak memperhatikan kaidah hukum, tidak memiliki landasan yang jelas dalam mengambil keputusan, kurang demokratis, tidak memperhatikan stabilitas organisasi, dan wawasannya sempit. Pembuat keputusan yang baik haruslah seorang akademisi dan sekaligus praktisi, seorang generalist yang sekaligus specialist. Selain itu, seorang pembuat keputusan publik harus senantiasa memerhatikan nilai-nilai judisial.

  17. Dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan tersebut. • Penguasaan urusan-urusan publik mewajibkan bahwa para politisi dan pejabat publik bekerja sesuai dengan keinginan publik (masyarakat) dan bukan berdasarkan persepsi mereka tentang keinginan masyarakat tersebut.

  18. Urusan-urusan publik membutuhkan institusi yang tersentralisasi. Tentu saja sentralisasi kekuasaan di sini mengandung konsekuensi tanggung jawab moral.

  19. Peraturan institusi-institusi pemerintah terhadap masyarakat mayoritas warga negara bukanlah peraturan absolut. Yang berlaku dalam hal ini adalah kontrak sosial atau pendelegasian otoritas antara kelompok mayoritas (masyarakat) kepada kelompok minoritas (aparatur negara).

  20. Pelaksanaan urusan-urusan publik harus berakar pada hukum. Hukum dapat ditegakkan kalau tindakan-tindakan pejabat publik sesuai dengan kehendak rakyat. • Pejabat-pejabat publik harus menyadari bahwa tidak semua kasus konkret termuat dalam pasal-pasal hukum. Namun, kebebasan bertindak harus dilakukan untuk menghasilkan jurisdiksi-jurisdiksi yang memperkuat hukum itu sendiri.

  21. Pejabat-pejabat publik bertanggung jawab terhadap keputusan-keputusan yang berdasarkan preferensi dan wawasannya. Dalam hal ini tanggung jawab menyangkut preferensi untuk melakukan sesuatu (action) atau tidak melakukan sesuatu (inaction).

  22. Kaidah normatif yang utama dengan demikian adalah kesadaran bahwa sumber legitimasi kebijakan publik adalah kehendak rakyat. Rakyat menyerahkan sebagian hak-haknya kepada administrator publik dengan harapan bahwa aparat-aparat negara itu akan mengambil kebijakan-kebijakan yang bermanfaat bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali. Keberadaan organisasi publik bermula dari kepercayaan rakyat, public office is a public trust.

  23. Perkembangan sistem ketatanegaraan di seluruh dunia selama setengah abad terakhir menunjukkan meluasnya pengakuan atas hak-hak rakyat. Terhadap kecenderungan di setiap negara bahwa kekuasaan atas negara hendak dikembalikan kepada sumber aslinya, yaitu rakyat.

  24. Perkembangan yang pertama adalah upaya perlindungan konstitusional yang lebih besar terhadap individu-individu atau hak-hak kerakyatan dalam deklarasi konstitusi mereka. Deklarasi mengenai hak-hak warga negara tersebut terjabar baik dalam bentuk Piagam Magna Charta, Bill of Rights, atau pembukaan seperti dalam Undang Undang Dasar negara kita.

  25. Pernyataan-pernyataan tentang hak asasi itu antara lain meliputi kebebasan untuk berbicara dan berkumpul, hak hidup dan hak milik, serta hak atas perlindungan yang sama. Di samping perlindungan konstitusional secara umum, negara juga disyaratkan untuk melindungi kehidupan warga negara dalam artian khusus seperti perlindungan dari kriminalitas dan kejahatan, atau hak-hak yang bersifat prosedural apabila warga berhubungan dengan lembaga-lembaga publik (procedural due process).

  26. Dalam kaitan ini negara kita juga sudah memiliki Undang-Undang No. 5 tahun 1986. Diberlakukannya undang-undang ini secara konsekuen jelas akan merupakan penerapan nilai-nilai judisial dalam aktivitas administrasi negara. Undang-undang yang disebut sebagai PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara) ini telah memuat ketentuan mengenai kompetensi peradilan administrasi negara, hukum acara administratif , jajaran kehakimannya, pemeriksaan sengketa administratif serta pembuktian perkaranya. Jadi sesungguhnya Indonesia telah mengantisipasi perubahan di bidang legalitas peradilan administrasi. Persoalannya tinggal bagaimana kemauan politik untuk menerapkan pasal-pasal dalam undang-undang PTUN itu secara konsekuen.

  27. Di dalam kerangka keterkaitan antara aparat-aparat judisial dengan para pejabat publik terdapat pergeseran asumsi yang semula mengatakan bahwa pejabat-pejabat publik memiliki kekebalan mutlak (absolute immunity) menuju kepada asumsi bahwa mereka hanya memiliki kekebalan bersyarat (qualified immunity).

  28. Hak-hak individu konstitusional yang seharusnya diperhatikan dan diakui oleh aparatur pemerintah justru dilanggar, dan tanggung jawab administrator publik terhadap kesejahteraan umum menjadi luntur.

  29. Lebih buruk lagi, pejabat kerapkali mengutamakan kepentingan pribadinya dengan mengatasnamakan tugas-tugas kedinasan. Ekses-ekses semacam inilah yang kemudian menumbuhkan kesadaran mayoritas akan perlunya membatasi hak istimewa pejabat-pejabat publik melalui konsep qualified immunity.

  30. Para pejabat boleh menggunakan keleluasannya untuk bertindak hanya apabila tindakan-tindakan itu mengarah kepada kepentingan pembangunan atau sesuai dengan kepentingan umum. Di luar itu, kedudukan administrator sama dengan warga negara yang lainnya sehingga setiap pelanggaran administratif maupun nonadministratif yang dilakukan oleh seorang pejabat tetap harus dikenai tindakan hukum.

  31. Ketegangan antara aparat judisial dan administrator publik terutama menyangkut hak-hak individual serta nilai-nilai kognitif dan ancangan evaluatif yang menjadi bahan informasi bagi administrasi negara. Perkembangan teknologi informasi dan tata kerja administrasi modern, umpamanya, hampir-hampir tidak memberi peluang bagi privacy warga negara secara individual.

  32. Apabila interaksi antara lembaga pemerintah dengan warga negara ini tidak diatur, maka sosok birokrasi pemerintah akan bisa berubah menjadi leviathan yang dengan congkak mencerabut akar-akar hak asasi. Tuntutan legal maupun sosietal untuk diperluasnya tanggung jawab administrasi semakin banyak itu mendesakkan kebutuhan akan adanya interaksi antara lembaga-lembaga peradilan dengan lembaga-lembaga administrasi secara lebih intensif.

  33. Bagaimana kita harus merumuskan bentuk keterkaitan antara lembaga judisial (kehakiman) dengan lembaga administratif di masa depan ? Beberapa model dapat diajukan untuk melihat kemungkinan penerapannya di masa mendatang.

  34. Terima Kasih 

More Related