1 / 64

HUKUM KELUARGA & PERKAWINAN 2 SKS

HUKUM KELUARGA & PERKAWINAN 2 SKS. Oleh: Trusto Subekti, SH, MHum. 0811281033 atau 0281638542 Hj. Siti Muflichah, SH, MH Rochati, SH, MHum. KONTRAK PEMBELAJARAN. Tata tertib:

emmly
Télécharger la présentation

HUKUM KELUARGA & PERKAWINAN 2 SKS

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. HUKUM KELUARGA & PERKAWINAN2 SKS Oleh: Trusto Subekti, SH, MHum. 0811281033 atau 0281638542 Hj. Siti Muflichah, SH, MH Rochati, SH, MHum

  2. KONTRAK PEMBELAJARAN • Tata tertib: Berpakaian rapi, bersepatu, sepatu sandal yang sopan dan difungsikan, tidak memakai kaos oblong, dihimbau mahasiswa masuk kelas sebelum dosen. • Metode kuliah diskusi 1. Mahasiswa wajib memilki diktat. 2. Patisipasi aktif dalam proses perkuliahan. 3. Pengembangan penalaran dengan analisis. • Metode Ujian 1. Soal ujian open book dan jawablah yang ditanyakan serta tidak boleh jadi BEO. 2. Penilaian PAP. 3. Nilai 50% Ujian Sisipan dan 50% ujian utama. 4. Apabila ada tugas terstruktur Nilai 10% Tugas dan 40% ujian.

  3. KONSEPHUKUM KELUARGA & PERKAWINAN • HUKUM 1.Sebagai seperangkat kaedah yang mengatur mengenai keluarga dan perkawinan. 2. Sebagai alat Social Control. 3. Sebagai alat Social Engineering. 4. Sebagai alat Social Empowering. 5. Sebagai bentuk Akomodasi sosial. • KELUARGA • Sebagai ruang lingkup materi, dalam pengertian sebagai kesatuan kemasyarakatan yang organisasinya didasarkan atas perkawinan yang sah, idealnya terdiri dari bapak, ibu dan anak-anaknya. • PERKAWINAN • Sebagai suatu hubungan hukum antara dua individu lain jenis yang sah dan sebagai dasar pembentuk keluarga, dan selanjutnya Keluarga sebagaiBASIC SOCIAL STRUCTUREsistim sosial Indonesia.

  4. MOTIF PERKAWINANMENGAPA ORANG MESTI KAWINARTI PENTINGNYA PERKAWINANPERKAWINAN PERLU DIATUR PERKAWINAN BIOLOGIS GENETIS POLITIS SOSIOLOGIS RELIGIUS EKONOMIS PSIKOLOGIS

  5. ARAH POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN Pembentuk susunan masyarakat beradab Masyarakat heterogin Politik Hukum Tap MPR IV/1973 Kesadaran hukum rakyat Typologi sosial Perubahan sosial yang hakiki harus dilakukan Dengan “regeling” Variasi sistem kemasyarakatan Pluralisme hukum Pergolongan rakyat Ide pembaharuan Ide unifikasi hukum

  6. IDE PEMBAHARUAN IDE-IDE PEMBAHARUAN ASAS ASAS HUKUM • Hukum perkawinan lebih mendekati sifat • Publik daripada privaat semata. • Hukum perkawinan erat kaitannya dengan • ketertiban umum (public orde). • Hukum perkawinan menampung aspirasi • emansipasi. • Hukum perkawinan menempatkan • kedudukan suami isteri sederajat. • Hukum perkawinan memperbaiki kepincangan • -kepincangan yg terdapat dalam tatacara • perkawinan perceraian dan mempersempit • poligami. • Hukum perkawinan melibatkan campur tangan • negara dalam perkasinan, poligami dan • perceraian. • Hukum perkawinan memberikan landasan • mengenai konsep keluarga yang ideal. • Menampung unsur-unsur dari ketentuan hukum • agama dan kepercayaan. • Menampung aspek aspirasi emansipasi kaum • wanita dan perkembangan sosial dan ekonomi • serta teknologi. • Tujuan perkawinan membentuk keluarga • bahagia yang kekal. • Prinsip yang menjadi asas UU No. 1 Th. 1974: • harus berdasar hukum agama dan kepercayaan • serta harus memenuhi administrasi negara • dengan pencatatan perkawinan. • Menganut asas monogami dengan pengecualian • poligami apabila hukum agamanya • membolehkan. • Perkawinan dan pembentukan keluarga • dilakukan oleh pribadi yang sudah matang jiwa • dan raganya. • Kedudukan antara suami-isteri adalah seimbang.

  7. PERMASALAHAN UNIFIKASI HUKUM SETELAH UU NO. 1 TH. 1974 ARTI & KONSEKUENSI UNIFIKASI HUKUM SIFAT UNIFIKASI HUKUM KETENTUAN HUKUM YG TIDAK BERLAKU LAGI Pandangan hukum pada pasal 67 UU No. 1 Th. 1974, empiris dan sehubungan dg adanya otonomi khusus NAD Ada pergolongan rakyat, pluralism hukum dan memisahkan antara hukum negara dengan hukum agama Politik unifikasi hukum (bagi WNI berlaku satu hukum perkawinan) ditegaskan pada pasal 66 UU No. 1 Th. 1974 Tdk ada pergolongan rakyat, unifikasi hukum dan mengkaitkan antara hukum negara dg hukum agama KUHPdt. HOCI, Perkawinan Campuran dan peraturan-peraturan lainnya sejauh sudah diatur dalam UU No. 1 Th. 1974 Unifikasi hukum yg unik, artinya mengandung pluralisme hukum pd sahnya perkawinan IDE UNIFIKASI HUKUM SEBELUM UU NO. 1 TH 1974

  8. SISTEMATIKA UU NO. I TH. 1974 I. DASAR-DASAR PERKAWINAN Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat II. SYARAT SYARAT PERKAWINAN III. Pencegahan Perkawinan V. Perjanjian Perkawinan Pelaksanaan & akibat perkawinan IV. Pembatalan perkawinan VIII. Putusnya Perkawinan & Aibatnya VI. Hak & Kewajiban Suami-Isteri VII. Harta Benda Perkawinan XI. Perwalian X. Hak & Kewajiban Orang tua & Anak IX. Kedudukan anak XIV. Ketentuan Penutup XII. Ketentuan- Ketentuan Lain XIII. Ketentuan Peralihan

  9. PENGERTIAN PERKAWINAN (1)MENURUT SISTIM HUKUM YANG BERLAKU SEBELUM UU NO. 1 TAHUN 1974 Pengertian Perkawinan KUHPerdata Hukum Adat Hukum Islam • Tidak memberi definisi • Rujukan pada Pasal 26 • KUHPerdata • Perkawinan merupakan • Hubungan perdata • (perjanjian) • Perkawinan harus diakui • negara • Perkawinan bertujuan • hidup bersama • Perkawinan mengikuti • sistim keluarga bilateral • Perkawinan merupakan • “rite de passage”  • Tahapan circle of live • Perkawinan merupakan • Perikatan perdata, adat, • Kekerabatan & • Ketetanggaan • Perkawinan banyak • ragamnya,sesuai sistim • masyarakatnya : • Patrilineal, Matrilineal, • Parental • Tujuan perkawinan ada • yang bentuk brayat dan • Tidak bentuk brayat • Perkawinan bersumber • Al Qur’an • Perkawinan merupakan • suatu aqad (ijab & kabul) • Perkawinan dilakukan • oleh wali calon mempelai • Wanita • Perkawinan memiliki • beberapa aspek: Hukum, • Sosial, Agama • Perkawinan membentuk • rumah tangga

  10. Ikatan lahir batin Ikatan: suatu perjanjian (persetujuan) aspek hubungan keperdataan (formil) harus dilandasi salin cinta (fundamen) Antara seorang pria dengan seorang wanita seorang: Monogami  bilateral Pria-wanita: konsep sosial jenis kelamin berbeda (menolak lesbi dan homo) Sebagai suami isteri Seabagai: bentuk penegasan perjanjian di lapangan hukum keluarga Suami-isteri: obyek perjanjian menimbulkan status Bertujuan membentuk keluarga kedatuan kemasyarakatan yang terkecil yang organisasinya didasarkan perkawinan sah, idealnya tediri atas bapak, ibu dan anak-anak Rumah tangga kehidupan dalam satu rumah (kesatuan ekonomi) Yang bahagia Kehidupan harmonis atas dasar cinta Kekal tidak untuk sesaat (kontinuitas) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa berdasar keimanan (religieus) PENGERTIAN PERKAWINAN (2) Pengertian Perkawinan Tujuan Perkawinan

  11. SAHNYA PERKAWINAN KUHPerdata Hukum Islam Hukum Adat • Calon suami dan calon • steri menyatakan saling • menerima satu kepada • lainnya sebagai suami/ • isteri • Perkawinan dilakukan • dihadapan Pegawai • Catatan Sipil • Dibuktikan dengan Akta • Perkawinan (dicatatkan • di Kantor Catatan Sipil) • Perkawinan dilakukan • menurut ketentuan • hukum fikh • Rukun perkawinan • harus dipenuhi: • Calon Suami-isteri, • Wali nikah, dua orang • saksi dan ijab - kabul • Perkawinan tidak • mengharuskan adanya • pencatatan perkawinan • Perkawinan adalah • tahapan circle of live • Perkawinan merupakan • upacara rite de passage • (krisisrites) • Perkawinan harus ada • pengakuan atau • penerimaan masyarakat • Perkawinan tidak • mengharuskan adanya • pencatatan perkawinan

  12. PENAFSIRAN PASAL 2 UU NO. 1 TAHUN 1974 Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 (1). Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Alternatif Kumulatif Kumulatif Alternatif • Kata DAN merupakan kata • Penghubung antara dua kata • yang setara dan merupakan • tipe yang sama (alternatif). • Perkawinan sah dilakukan • menurut agamanya • Perkawinan juga sah yang • Dilakukan menurut • kepercayaannya. • Kata DAN merupakan • Kumulatif artinya • merupakan kesatuan • antara agamanya • dengan kepercayaannya. • Perkawinan hanya bisa • dilakukan menurut hukum • agama. • Kata DAN merupakan • kumulatif – alternatif. • Pengertian kepercayaan- • nya adalah madzab dalam • Agama. • Perkawinan menurut • agama dengan tolerans • sementara bagi yang belum • beragama (pedalaman).

  13. Membolehkan Islam mengijinkan laki-laki muslim kawin dengan perempuan ahli kitab (tidak mutlak). a. Islam melarang laki-laki muslim kawin dengan perempuan musrik. b. Islam tidak membolehkan perempuan muslim kawin dengan laki-laki non muslim. 2. Agama Islam bersifat universal dan berlaku untuk semua manusia, tapi mengutamakan agama. Kawinilah perempuan atas dasar pertimbangan keyakinan agamanya. Tidak membolehkan Merupakan pandangan yang ekstrim yang melarang perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda. PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN ANTAR PEMELUK YANG BERBEDA AGAMA

  14. PANDANGAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIAMENGENAI PERKAWINAN ANTAR PEMELUK YANG BERBEDA AGAMA YURISPRUDENSI M.A.R.I. No. 382/Pdt/’89/PW/Jak.Pus. Kptsn. M.A.R.I. No. 400/K/Pdt/’89/PW/Jak.Pus. • Pasal 7 ayat (2) Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau Peraturan Perkawinan Campuran Stb. 1898 No. 158 dinyatakan bahwa “perbedaan agama, bangsa atau asal-usul” itu sama sekali tidak merupakan penghalang untuk melangsungkan perkawinan, jadiketentuan ini membuka seluas-luasnya kemungkinan untuk mengadakan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, sekalipun dalam hal tertentu akan mengesampingkan ketentuan hukum agama. (Bandingkan dengan prinsip yang dikandung dalam Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974). UU No. 1 Th. 1974 Perbedaan agama Bukan larangan kawin Pasal 27 UUD 1945 Setiap warganegara Kedudukannya sama d alam hukum dan pemerintahan Pasal 29 UUD 1945 Setiap warganegara Dijamin kemerdekaannya Untuk memeluk agama UU No. 1 Th. 1974 Tidak diatur perkawinan Bagi yang berbeda Agama Terdapat kekosongan hukum, maka harus Ditentukan hukumnya Peristiwa itu dapat digolongkan sebaga Perkawinan GHR

  15. YANG BERAGAMA Beragama Islam mengikuti peraturan perkawinan dan pencatatan yang berlaku bagi yang beragama Islam. 2. Beragama Non Islam mengikuti peraturan perkawinan dan pencatatan bagi agama yang dianutnya. YANG TIDAK BERAGAMA Tidak ada tatacara perkawinan yang berlaku bagi mereka. Perkawinan dan penvatatanya tidak bisa dilaksanakan. PERKAWINAN DAN PENCATATANBAGI ALIRAN KEPERCAYAAN

  16. Materiil Hanya berdasarkan penafsiran gramatical terhadap bunyi Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 saja tanpa memperhatikan syarat-syarat perkawinan dan ketentuan lainnya. Formil Berdasar atas penafsiran Sistematis menurut Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 serta syarat-syarat perkawinan, dan juga ketentuan PP 9 Tahun 1975. SAHNYA PERKAWINAN Permasalahan yang timbul apabila sahnya perkawinan hanya merujuk secara materiil saja adalah ketentuan pada syarat-syarat perkawinan tidak bisa dilaksanakan, dan akan terjadi penerobosan persyaratan perkawinan, poligami, pencegahan dan pembatalan perkawinan, dan bahkan dapat diartikan UU No. 1 Tahun 1974 menjadi tidak bisa dilaksanakan.

  17. Pasal 10 ayat 1 PP 9 Tahun 1975. Perkawinan dilaksanakan setelah 10 hari sejak pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan Kurang dari 10 hari harus ada ijin dari Camat atas nama Bupati (Walikota). Pasal 10 ayat 2 PP 9 Tahun 1975 Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (sesuai bunyi Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974). TATACARA PERKAWINAN MENURUT PASAL 10 AYAT (1,2 dan 3) PP 9 TAHUN 1975 SEBAGAI PERATURAN PELAKSANAAN UU NO. 1 TAHUN 1974 • Pasal 10 ayat 3 • PP 9 Tahun 1975 • Perkawinan dilak- • sanakan dihadapan • Pegawai Pencatat • Perkawinan dan • dihadiri oleh dua • orang saksi • Muslim dilakukan • oleh Pejabat KUA • Non Muslim di- • lakukan oleh Peja- • bat Catatan Sipil.

  18. SKEMA BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN 1974 1974 1983 1992 2006 • Penafsiran Alternatif • Perkawinan bagi • pemeluk agama • yang berbeda dan • aliran kepercayaan • masih bisa dilakukan • seperti sebelum • diterbitkannya • UU No. 1 Th. 1974 • Penafsiran • Alternatif • Perkawinan • antar pemeluk • agama yang • berbeda tidak • bisa dilakukan • (Catatan Sipil • tidak lagi ber- • wenang untuk • melaksanakan • perkawinan • Penafsiran • Kumulatif • Perkawinan bagi • aliran • kepercayaan • tidak bisa lagi • dilaksanakan • (KHC masih ter- • masuk aliran • kepercayaan) Konghucu Sudah diakui sebagai agama

  19. Perjalanan interpretasi istilah “dan” pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Th. 1974 • Tahun 1974/1975 UU No. 1 Th. 1974/PP No. 9 Th. 1975 Interpretasi altrenatif (masih terpisah antara Agama dan kepercayaan) dan masih belum ada perubahan mengenai kewenangan Catatan Sipil untuk menikahkan, sehingga perkawinan kepercayan dan beda agama masih dapat dilakukan • Tahun 1983 Keppres No. 12 Th. 1983 Catatan Sipil Catatan Sipil tidak lagi berwenang untuk menikahkan, dan akta Catatan Sipil berlaku untuk semua WNI, kecuali bagi orang Islam akta perkawinan di KUA, kawin beda agama tidak bisa lagi • Tahun 1992 Keputusan Bersama Mendagri dan Menag interpretasi kumulatif, kepercayaan agama, jadi kepercayaan yang bukan agama dinyatakan tidak ada tatacaranya, maka tidak bisa menikahkan • Tahun 2006 Pengakuan Khonghucu sebagai agama Agama Khonghucu diakui sebagai agama, dari tahun ini mulai muncul lagi wacana interpretasi alternatif dan wacana pasal 66 UU No.1 Tahun 1974

  20. PRINSIP PERKAWINAN MONOGAMI POLIGAMI Pasal 3 ayat 1 UU No. 1 Th. 1974 “seorang suami HANYA BOLEH…… seorang isteri, ……(sebaliknya) Pasal 3 ayat 2 UU No. 1 Th. 1974 Pengadilan dapat memberi ijin kepada Seorang suami utk beristri lebih dari satu … Prinsip Bilateral Kedudukan suami dan isteri seimbang, dan cakap bertindak d alam hukum • Ijin Pengadilan • wajib hukumnya • memenuhi alasan • dan syarat • Alasan Poligami • Td dapat jalankan kewajiban suami isteri, cacat badan, td dapat melahirkan • Syarat-syarat Poligami • persetujuan isteri, mampu ekonomi dan berlaku adil

  21. TAHAPAN PELAKSANAAN PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974 DAN PP.9 TAHUN 1975 TAHAPAN PELAKSANAAN PERKAWINAN TAHAPAN PEMBERITAHUAN KEHENDAK MELANGSUNGKAN PERKAWINAN TAHAPAN PENGUMUMAN KEHENDAK MELANGSUNGKAN PERKAWINAN TAHAPAN PELAKSANAAN PERKAWINAN PENYERAHAN DAN PEMERIKSAAN SYARAT-SYARAT PERKAWINAN PERKAWINAN DAN PENCATATAN PERKAWINAN UJI PUBLIK

  22. SYARAT-SYARAT PERKAWINANMENURUT UU NO.1 TAHUN 1974 Syarat-syarat perkawinan Syarat materiil Syarat formil Berlaku umum Berlaku khusus Pemberitahuan Ke PPP Penelitian syarat dan kelengkapan lainnya Larangan kawin Lesan atau tertulis 10 hari pengumunan Persetujuan mempelai Izib OT yang Belum 21 tahun Batas umur kawin Waktu tunggu

  23. LARANGAN KAWINMENURUT UU NO.1 TAHUN 1974 LARANGAN KAWIN ANTARA KELUARGA SEDARAH, GARIS KE ATAS, KE BAWAH, MENYAMPING, HUBUNGAN SEMENDA, DAN SAUDARA ISTERI BILA BERISTERI LEBIH DARI SATU ANTARA ORANG SAMA KE-3 KALINYA ATAU LEBIH ANTARA YANG BERHUBUNGAN SUSUAN ANTARA YANG MENURUT AGAMA DILARANG KAWIN LARANGAN KAWIN INI MERUPAKAN PERSYARATAN PERKAWINAN DALAM KATEGORI RELATIF

  24. SYARAT-SYARAT PERKAWINANMENURUT HUKUM ISLAM SYARAT-SYARAT PERKAWINAN WALI NIKAH CALON MEMPELAI SAKSI-SAKSI IJAB KABUL SYARAT WALI KEDUDUKAN WALI BALIGH ISLAM MUKALAF WALI NASAB BERAKAL SEHAT MUKALAF MUSLIM TIDAK KARENA PAKSAAN WALI HAKIM ADIL BERAKAL SEHAT TIDAK HARAM DIKAWIN DUA ORANG WALI MUHAKAM PRIA ADIL

  25. ARTI PENTING PENGUMUMANKEHENDAK MELANGSUNGKAN PERKAWINAN ARTI PENTING PENGUMUMAN TUJUAN PENGUMUMAN KEBENARAN OBYEKTIF SOSIAL KONTROL UJI PUBLIK HILANGKAN KERAGUAN URUSAN INDIVIDU URUSAN KELUARGA UNTUK DITINDAKLANJUTI SESUAI KETENTUAN HUKUM YANG BERLAKU URUSAN MASYARAKAT PENCEGAHAN PERKAWINAN URUSAN NEGARA

  26. PELAKSANAAN PERKAWINAN MENURUT PP. NO.9 TAHUN 1975 PELAKSANAAN PERKAWINAN 10 HARI SETELAH PENGUMUMAN DILAKUKAN MENURUT KETENTUAN AGAMA DAN KEPERCAYAANNYA DIHADAPAN PEGAWAI PENCATAT SERTA DIHADIRI 2 ORANG SAKSI PENANDATANGANAN AKTA PERKAWINAN OLEH KEDUA MEMPELAI, PARA SAKSI, DAN PEGAWAI PENCATAT (BAGI ORANG ISLAM JUGA OLEH WALI NIKAH) PELANGGARAN TERHADAP PASAL 3, PASAL 10 DAN PASAL 40 MENURUT PASAL 45 PP. NO.9 TAHUN 1975 MERUPAKAN TINDAK PIDANA PELANGGARAN, DENGAN ANCAMAN DENDA SETINGGI- TINGGINYA SEBESAR Rp 7.500,-

  27. CATATAN SIPILBurgerlijke Stand Lembaga yang diadakan Pemerintah yang bertugas mencatat atau mendaftar setiap peristiwa yang dialami warga masyarakat, setelah ada laporan yang dimulai sejak lahir sampai meninggal, seperti : kelahiran, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, kematian, dsb Riwayat catatan sipil Berasal dari CODE CIVIL Concordansi BW BELANDA Concordansi BW HINDIA BELANDA Pasal II AP UUD 1945 KUHPdt, Buku Titel II Pasal 4 - 16 PERGOLONGAN RAKYAT EROPA Ordonansi Catatan Sipil S. 1849 No. 25 INDONESIA ASLI NASRANI Ordonansi Catatan Sipil S. 1933 No. 75 jo. S 1936 No. 607 TIONGHOA Ordonansi Catatan Sipil S. 1917 No. 130 Jo. S. 1919 No. 81 INSTRUKSI PRESIDIUM KABINET AMPERA NO. 31/U/IN/12/1966 TERBUKA UNTUK SELURUH WNI TIDAK ADA PERGOLONGAN RAKYAT UNTUK CATATAN SIPIL

  28. JENIS-JENIS AKTA CATATAN SIPILBerdasarkan Ordonansi Catatan SipilPERGOLONGAN RAKYAT Gol. Eropa Gol. Tionghoa Gol. Ind. Asli • Kelahiran • Pemberitahuan • Perkawinan • izin perkawinan • Perkawinan • Perceraian • Kematian • Kelahiran • izin perkawinan • perkawinan • perceraian Jawa & Madura Jawa & Madura, Amboina Beragama Nasrani • Kelahiran • Pemilihan Nama • Kematian • Kelahiran • Pemilihan nama • Perkawinan • Perceraian • Kematian Keppress 12 Tahun 1983 sbg tindak lanjut Instruksi Presidium Kabinet Ampera 1966 Td. mengenal pergolongan rakyat • Kelahiran • Perkawinan • Perceraian • Pengakuan dan pengesahan anak • Kematian

  29. PERATURAN CATATAN SIPILKHUSUS PERKAWINAN BAGI WNI TIONGHOADAN WNI ASLI YANG BERAGAMA KATOLIK DAN BUDHA SEBELUM BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN 1974 MENCATAT, MENDAFTARKAN SECARA LENGKAP PERISTIWA PERKAWINAN, JUGA MENSAHKAN PERKAWINAN H.O.C.I S. 1933 NO. 74 UU NO. 32 TAHUN 1954 TENTANG NTR LN. 1954 NO. 98 KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA PERATURAN PERKAWINAN CAMPURAN S. 1898 NO. 158 SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN 1974 UU CATATAN SIPIL NASIONAL BELUM ADA OLEH KARENA ITU MASIH MENGGUNAKAN STAATSBLAD DAN DITEGASKAN DENGAN S.E. MENDAGRI MENKEH. NO. J.A. 2/2/2/5 Pemdes 51/1/3 tanggal 29 Januari 1967 tentang pelaksanaan keputusan IPK No. 127/u/Kep/12/1966 dan IPK No. 31/U/IN/12/1966 Isinya: Di dalam kutipan akta perkawinan perkataan “golongan” pada “kepala” ikhtisar kutipan akta Catatan sipil, diganti dengan istilah “Warga Negara Indonesia” dan untuk orang asing Menggunakan “Warga Negara ….” Atau “Tanpa Kewarganegaraan” TIDAK ADA LAGI PERGOLONGAN RAKYAT

  30. PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN PERBEDAAN PERSAMAAN PENCEGAHAN PERKAWINAN SEBAGAI TINDAKAN KONTROL SEBELUM PERKAWINAN SISTEM KONTROL PERKAWINAN PEMBATALAN PERKAWINAN SEBAGAI TINDAKAN KONTROL SETELAH PERKAWINAN PROSES MELALUI PENGADILAN PENCEGAHAN PERKAWINAN TIDAK TERKAIT AKIBAT PERKAWINAN MENJAMIN KEPASTIAN HUKUM PEMBATALAN PERKAWINAN TERKAIT PADA AKIBAT PERKAWINAN PENARIKAN KEMBALI DENGAN PUTUSAN PENGADILAN TATACARA PENCEGAHAN PERKAWINAN DENGAN ACARA PERMOHONAN TATACARA PENGAJUAN PEMBATALAN PERKAWINAN DENGAN ACARA GUGATAN AKIBAT PENCEGAHAN PERKAWINAN PROSES PERKAWINAN MENJADI TERHENTI AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN, STATUS PERKAWINAN MENJADI TIDAK SAH SEJAK SAAT DIBATALKAN

  31. PENCEGAHAN PERKAWINAN ORANG-ORANG YANG BERHAK MENCEGAH PERKAWINAN TATA CARA PERMOHONAN PENCEGAHAN PERKAWINAN • Para keluarga garis • lurus ke atas • dan ke bawah • Saudara • Wali nikah • Wali • Pengampu dari • salah satu • calon mempelai • Pihak-Pihak • yang berkepentingan • Suami atau isteri • Pejabat yang ditunjuk DENGAN ACARA PERMOHONAN BUKAN ACARA GUGATAN PENGADILAN PENGADILAN AGAMA PENGADILAN NEGERI NON MUSLIM MUSLIM YANG PERLU DICERMATI PASAL 63 AYAT (2) UU NO. 1 TAHUN 1974 PUTUSAN PENGADILAN AGAMA HARUS DIKUKUHKAN DENGAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI UNTUK MEMILIKI KEKUATAN EKSEKUTORIAL HUBUNGAN DENGAN DIUNDANGKANNYA UU NO. 7 TAHUN 1989 TENTANG PENGADILAN AGAMA

  32. PEMBATALAN PERKAWINAN TATACARA PERMOHONAN PEMBATALAN PERKAWINAN ORANG-ORANG YANG BERHAK MENGAJUKAN PEMBATALAN PERKAWINAN PARA KELUARGA GARIS LURUS KEATAS DARI SUAMI ATAU ISTERI KE PENGADILAN DENGAN ACARA GUGATAN SUAMI ATAU ISTERI PEJABAT YANG BERWENANG SELAMA PERKAWINAN BELUM PUTUS PENGADILAN NEGERI BAGI NON MUSLIM PENGADILAN AGAMA BAGI MUSLIM SETIAP ORANG YANG BERKEPENTINGAN JAKSA (PENUNTUT UMUM)

  33. PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974 ISI PERJANJIAN KAWIN ISTILAH PERJANJIAN PERKAWINAN KAPAN DIBUAT DIBUAT OLEH CALON SUAMI DAN CALON ISTERI BENTUK PERJANJIAN KAWIN SEBELUM PERKAWINAN AKTA DIBAWAH TANGAN PADA SAAT PERKAWINAN • SDH 18 TH (SENDIRI) • BLM 18 TH (DIWAKILI- • DIDAMPINGI OT/WALI • DISPENSASI UMUR • KAWIN PASAL 47 & • PASAL 50 (WALI) • UU 1/74 AKTA AUTHENTIK DISAHKAN OLEH PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN • PEMISAHAN SELURUHNYA • PERSATUAN BULAT HARTA • MENAMPUNG NILAI-NILAI • SISTEM PATRILINEAL/ • MATRILINEAL PRINSIPNYA TIDAK BISA DIUBAH KECUALI ATAS PERSETUJUAN SUAMI-ISTERI & TIDAK MERUGIKAN PIHAK KETIGA

  34. PERJANJIAN KAWINMENURUT PASAL 119-167 K.U.H. PERDATA PRINSIP HARTA BENDA PERKAWINAN MENURUT K.U.H. PERDATA PERSATUAN BULAT HARTA PERKAWINAN DENGAN BEHEER ATAS HARTA DIJALANKAN OLEH SUAMI (PASAL 119-124 K.U.H. PERDATA PENYIMPANGAN THD PERSATUAN BULAT HARTA TERJADI DG ADANYA PERSETUJUAN CALON SUAMI-ISTERI DISEBUT PERJANJIAN KAWIN MANFAAT DAN TUJUAN PERJANJIAN KAWIN SYARAT-SYARAT PERJANJIAN KAWIN • MENGENAI DIRI • SUAMI-ISTERI • PEMBUATAN AKTA • DAN MULAI BERLAKUNYA • 3. ISI PERJANJIAN KAWIN MENGHADAPI TINDAKAN BEHEER SUAMI ATAS HARTA YANG DIBAWA ISTERI MELINDUNGI HARTA ISTERI/SUAMI ATAS TANGGUNG JAWAB TERHADAP HUTANG-HUTANG SUAMI/SEBALIKNYA

  35. Antara suami-istri tidak ada persatuan bulat. Antara suami-istri ada persatuan terbatas (harta bersama). Untung dan rugi menjadi hak dan tangungan suami-istri. Harta yang dibawamasuk menjadi harta pribadi masingmasing suami-istri. Terdapat lebih dari kelompok harta, yaitu: harta persatuan untung rugi, harta pribadi suami dan harta pribadi istri. Antara suami-istri tidak ada persatuan. Terdapat kelompok harta, yaitu: harta kekayaan suami-istri persatuan hasil dan pendapatan, harta kekayaan suami dan harta kekayaan istri. Kerugian menjadi tanggungjawab suami. Istri tidak turutnbertangungjawab. BENTUK-BENTUK PERJANJIAN KAWINPERSATUAN UNTUNG RUGI PERSATUAN HASIL & PENDAPATAN

  36. TERJADINYA PERSATUAN UNTUNG DAN RUGI • Pasal 144 KUHPerdata • Para pihak secara tegas memperjanjikan dalam perjanjian kawin • mereka. • Para pihak hanya memperjanjikan dalam perjanjian kawin bahwa • antar mereka tak ada persatuan harta. • PITLO: Pengertian untung rugi: • Saldo yang ada pada akhir perkawinan. • Keuntungan (wins) berupa semua activa dan kerugian adalah pasiva • atas harta persatuan (harta bersama) Hasil Harta kekayaan mereka: sewa rumah, bunga, deviden, saham, dsb. Serta pendapatan Mereka masing-masing sbg hasil usaha dan kerajinan mereka Tabungan pendapatan-pendapatan yang tidak terhabiskan, yang Telah dikurangi dengan berbagai pengeluaran PASAL 157 KUHPERDATA Dimasukkan sebagai keuntungan karena ada tambahan harta kekayaan Suami-istri yang dimiliki sebelum perkawinan

  37. Pendapat Ali Afandi • Keuntungan adalah tiap bertambahnya kekayaan sepanjang perkawinan karena hasil harta kekayaan dan pendapatansuami-istri, hasil harta kekayaan dan pendapatan suami atau istri. • Kerugian adalah tiap berkurangnya kekayaan karena pengeluaran yang melebihi pendapatan (saldo negatif). • Laba (activa)  tanpa dikurangi pengeluaran-pengeluaran. • Saldo  perhitungan jumlah kelebihan pada saat persatuan berakhir dibandingkan pada saat perkawinan dilangsungkan. kesimpulan Akibat persatuan untung dan rugi adalah bahwa semua keuntungan yang dperoleh dan semua kerugian yang diderita sepanjang perkawinan, menjadi bagian dan beban suami-istri menurut perbandingan yang sama b esarnya. Dengan demikian dalam persatuan Untung dan rugi ada persatuan yang terbatas, yaitu: bahwa hanya untung dan rugi (bersama) suami-istri

  38. AKIBAT PERKAWINAN HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI (Pasal 30 – Pasal 34 UU No. 1 Tahun 1974) HUBUNGAN ANTARA ORANG TUA DENGAN ANAK (Pasal 45-Pasal 49 UU No. 1 Tahun 1974) HARTA BENDA PERKAWINAN (Pasal 35-Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974) KEDUDUKAN ANAK (Pasal 43-44 UU No. 1 Tahun 1974) AKIBAT PERKAWINAN MERUPAKAN KONSEKUENSI YURIDIS ATAU MERUPAKAN HUBUNGAN PERIKATAN (MENIMBULKAN HAK DAN KEWAJIBAN) YANG DITENTUKAN OLEH UNDANG-UNDANG PENYIMPANGAN DAPAT DILAKUKAN MELALUI PERJANJIAN PERKAWINAN KHUSUS TERHADAP HARTA BENDA PERKAWINAN

  39. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI - ISTERI ASPEK MAKRO KEWAJIBAN LUHUR MENEGAKKAN RUMAH TANGGA YANG MENJADI SENDI DASAR DARI SUSUNAN MASYARAKAT (PASAL 30 UU NO. 1 TAHUN 1974) ASPEK MIKRO KEDUDUKAN SUAMI DAN ISTERI DI DALAM KELUARGA PRINSIP HAK DAN KEDUDUKAN ISTERI SEIMBANG DENGAN HAK DAN KEDUDUKAN SUAMI (Pasal 312 ayat (1) UU No.1 Th. 1974 PRINSIP MASING-MASING SUAMI-ISTERI CAKAP MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM (Pasal 31 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974) PRINSIP SUAMI SEBAGAI KEPALA KELUARGA DAN ISTERI SEBAGAI IBU RUMAH TANGGA (Pasal 31 ayat (3) UU No. 1 Th.1974)

  40. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI (PASAL 30 – 34 UU NO. 1 TH. 1974) KEDUDUKAN SUAMI ISTERI HUBUNGAN SUAMI ISTERI SUAMI SBG KEPALA KELUARGA ISTERI SBG IBU RUMAH TANGGA SUAMI ISTERI WAJIB SALING CINTA MENCINTAI HORMAT MENGHORMATI DAN MEMBERI BANTUAN LAHIR BATIN YANG SATU KEPADA YANG LAINNYA (Pasal 33 UU No. 1 Th. 1974) • SUAMI WAJIB • MELINDUNGI • ISTERI DAN • MEMBERIKAN • SEGALA • KEPERLUAN • HIDUP • RUMAH TANGGA • (Pasal 34 ayat • UU No. 1 • Th. 1974) ISTERI WAJIB MENGATUR URUSAN RUMAH TANGGA DENGAN SEBAIK- BAIKNYA (Pasal 34 ayat (2) UU No. 1 Th. 1974) SUAMI ISTERI HARUS MEMPUNYAI KEDIAMAN YANG TETAP (Pasal 32 ayat (1) UU No. 1 Th. 1974) JIKA SUAMI ISTERI MELALAIKAN KEWAJIBAN MASING-MASING DAPAT MENGAJUKAN GUGATAN KE PENGADILAN (Pasal 34 ayat (3) UU No.1 Th. 1974)

  41. CAKUPAN MATERIHARTA BENDA PERKAWINAN PENAFSIRAN HARTA BENDA PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974 PENAFSIRAN BERLAKUNYA MENGENAI HARTA BENDA PERKAWINAN PEMBAHASAN MENGENAI HARTA BENDA PERKAWINAN INI MENGHADAPI KESULITAN UU POKOK YANG UNTUK BERLAKUNYA MEMERLUKAN PERATURAN PELAKSANAAN (PASAL 66 DAN 67 UU NO. 1 TAHUN 1974) DISISI LAIN PP NO. 9 TAHUN 1975 TIDAK MENGATUR LEBIH LANJUT MENGENAI HARTA BENDA PERKAWINAN TERDAPAT PENAFSIRAN YANG BERBEDA MENGENAI PERLU TIDAKNYA DIKELUARKANNYA PERATURAN PELAKSANAAN UU NO. 1 TAHUN 1974 SELAIN PP NO. 9 TAHUN 1975

  42. PENAFSIRAN HUKUM HARTA BENDA PERKAWINAN(PASAL 35-37 UU NO. 1 TAHUN 1974) WEWENANG SUAMI ISTERI ATAS HARTA BENDA PERKAWINAN TANGGUNG JAWAB SUAMI-ISTERI ATAS HUTANG- HUTANG DG PIHAK KETIGA KELOMPOK HARTA BENDA PERKAWINAN HARTA BERSAMA Ps. 35(1) HARTA PRIBADI SUAMI/ISTERI Ps. 35(2) HUTANG PRIBADI SUAMI/ISTERI HUTANG BERSAMA HARTA PRIBADI SUAMI/ISTERI HARTA BERSAMA • Indikator • Diperoleh • selama • perkawinan • -Bukan • bawaan, • hadiah, • warisan • Harta bawaan • Harta hadiah • Harta warisan Beheer, Beschikking Masing- masing Beheer, Beschikking bersama Beban Masing-masing Suami isteri Menanggung Hutang pribadi Atas harta Pribadi Dan apabila Tidak cukup Dari harta Bersama (Hk. Adat) Beban suami Isteri bersama Atas harta Bersama Bila tidak Cukup Harta pribadi Penafsiran Para pihak Ps. 35(2) UU 1/74 Penguasaan dan hak penuh Persetujuan suami isteri sbg asas Hukum adat tidak membedakan Hutang pribadi dan hutang bersama UU No. 1 Th. 1974 Berdasar atas dan berpolakan pada hukum adat (Soebekti dan Purwoto S. Gandasubrata)

  43. PENAFSIRAN BERLAKUNYA UU NO. 1 TH. 1974 TENTANG HARTA BENDA PERKAWINAN Berlakunya UU No. 1 Th. 1974khusus mengenai Harta Benda Perkawinan PENAFSIRAN BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN 1974 (UU POKOK) ATAS DASAR PASAL 66 UU NO. 1 TH. 1974 ATAS DASAR PASAL 67 UU NO. 1 TH. 1974 Sejauh sudah diatur Berlaku ketentuan baru Sejauh belum diatur Belum ada P.P nya Ada P.P nya Berlaku ketentuan baru BERLAKU PERATURAN LAMA DITENTUKAN SECARA TEGAS YANG MEMERLUKAN PERATURAN PELAKSANAAN ATAU PERATURAN PEMERINTAH Tenggang waktu tunggu (Ps. 11 ayat (2) UU No. 1 Th. 1974); Tatacara Perkawinan (Ps. 12 UU No.1 Th 1974); Tatacara Perceraian dan Tatacara Mengajukan Gugatan (Ps. 39 ayat (3) & Ps. 40 ayat (2) UU No. 1 Th. 1974; Kedudukan Anak (Ps. 43 ayat (2) UU No. 1 Th. 1974) SELEBIHNYA TIDAK TEGAS MEMERLUKAN PERATURAN PELAKSANAAN ATAU TIDAK WALAU SEBETULNYA MASIH MEMERLUKAN PENJELASAN KESIMPULAN UU NO. 1 TH. 1974 SEBAGAI KENYATAAN ADA DAN SUDAH DIBERLAKUKAN SECARA NASIONAL

  44. PENAFSIRAN BERLAKUNYA HUKUM HARTA BENDA PERKAWINANMENURUT UU NO. 1 TH. 1974 DALAM PRAKTEK PERLU PERATURAN PELAKSANAAN BERLAKU SEPENUHNYA Petunjuk MARI No. MA/Pemb/0807/75 Tanggal 10 Agustus 1975 UU No. 1 th. 74 belum efektif, maka berlaku peraturan lama Pts. MARI No. 681/K/Sip/’75 Tgl. 18 Agst ’79 UU No. 1 Th. 1974 khususnya dilapangan Harta perkawinan telah berlaku sepenuhnya Pts. MARI No. 2690/K/Pdt/’85 Menyatakan bahwa UU No. 1 Th. 1974 sebagai Hukum nasional mengikuti sistem Hk. Adat Gol. Cina berlaku K.U.H. Perdata Gol. Indonesia asli Berlaku Hukum Adat Pts. MARI No. 726/Sip/76 Tgl. 15 Feb ’76 UU No. 1 Th. 1974 belum Ada PP yang mengganti KUHPerdata, maka Diberlakukannya peraturan lama Pts. MARI No. 263/Sip/76 Tgl. 13 Nop. ’78 Penjualan harta bersama Harus dengan Persetujuan isteri atau Hadir waktu jual beli diadakan Pendapat Soebekti UU No.1 Th. 1974 mendasarkan atas asas Hukum Adat, walau peraturan pelaksanaannya Belum ada Pendapat Tahir Tungadi UU No.1 Th. 1974 dilaksanakan secara terbatas Hanya bagi mereka yang menikah setelah Berlakunya UU No.1 Th. 1974

  45. LOGIKA SISTEMNYA ANAK SAH PENYANGKALAN SUAMI ANAK LUAR KAWIN PENGAKUAN ANAK KEPASTIAN HUKUMNYA DENGAN PEMBUKTIAN ASAL-USUL ANAK KEDUDUKAN ANAKStatus atau posisi anak dalam keluargaPasal 42,43 dan 44 UU No.1 Th. 1974 PEMBUKTIAN ASAL-USUL ANAK Pasal 55 (1)-(3) UU N. 1 Th. 1974 PENGERTIAN ANAK YANG SAH Pasal 42 UU No. 1 Th. 1974 KEDUDUKAN ANAK YANG LAHIR DILUAR PERKAWINAN Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Th. 1974 HAK PENYANGKALAN SUAMI ATAS ANAK YANG DILAHIRKAN OLEH ISTRINYA KARENA ZINA Pasal 44 ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 1 Th. 1974 KEDUDUKAN ANAK ANGKAT Pasal 66 UU No. 1 Th. 1974 Berlaku peraturan lama

  46. ANAK ANGKAT Hukum Islam Memandang Hanya Merupakan Solidaritas sosial ANAK YANG SAH Anak kandung SKEMALOGIKA SISTEM KEDUDUKAN ANAK KEDUDUKAN ANAK ANTARA KONSEP BIOLOGIS DAN KONSEP YURIDIS ANAK LUAR KAWIN Anak yang Tidak sah ANAK HASIL OVERSPEL TIDAK DAPAT DIAKUI PENYANGKALAN ANAK YANG SAH OLEH SUAMI IBUNYA PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN OLEH BAPAK BIOLOGISNYA PEMBUKTIAN ASAL-USUL ANAK

  47. PENGERTIAN ANAK YANG SAH Pasal 42 UU No. 1 Th. 1974 INDIKATOR Pasal 255 KUHPerdata Diukur dari anak yang lahir 300 hari setelah perkawinan putus adalah tidak sah, logika sebaliknya sebelum 300 hari anak tersebut dilahirkan sebelum perkawinan putus adalah anak yang sah Hukum Islam Diukur dari anak yang dilahirkan 6 bulan setelah perkawinan atau dalam tenggang Masa iddah adalah anak yang sah Hukum Adat Tidak diperhatikan jangka pendeknya perkawinan, hanya ditentukan anak yang dilahirkan Dalam tenggang kehamilan adalah anak yang sah PERKAWINAN YANG SAH Berdasar atas UU No. 1 Th. 1974 jo PP. No. 9 Th. 1975 Sah menurut hukum Tidak sekedar hanya Sah menurut agama YANG DILAHIRKAN Menunjuk Peristiwa proses Kelahiran seorang Anak secara Alamiah dari Kandungan atau Muncul ke dunia DALAM Artinya adalah dalam Perkawinan yang Sah diukur sejak Perkawinan Dilangsungkan Sampai Perkawinan putus SEBAGAI AKIBAT PERKAWINAN YG SAH Anak yg lahir diluar Perkawinan yg sah tp Proses pembuahannya Terjadi pd masa Perkawinan yg sah Atau menjadi dianggap Lahir dalam Perkawinan yg sah

  48. KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Th. 1974 SINGLE PARENT HANYA MEMPUNYAI HUBUNGAN HUKUM KEPERDATAAN DENGAN IBUNYA DAN KELUARGA IBUNYA SAJA HUBUNGAN HUKUM DENGAN BAPAK BIOLOGISNYA DAPAT TERJADI MELALUI PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN Pasal 43 ayat (2) UU No. 1 Th. 1974 kedudukan anak luar kawin ini akan diatur lebih lanjut dalam PP, oleh karena itu untuk saat ini diberlakukan peraturan lama antara lain seperti yang diatur dalam KUHPerdata DUA TEORI PENGAKUAN ANAK DUA CARA PENGAKUAN ANAK TEORI PEMBUKTIAN (declaratif) TEORI MATERIIL (constitutif) SECARA SUKARELA SECARA PAKSAAN MELALUI PENGADILAN • KUHPerdata • Pengakuan anak dibolehkan apabila si ibu memberikan persetujuan (Ps. 284) • Hasil dari overspel tidak dapat diakui (Ps. 283)

  49. HAK PENYANGKALAN SUAMI ATAS SAHNYA ANAK YANG DILAHIRKAN OLEH ISTERINYA KARENA ZINA Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 Dapat dilakukan dengan Membuktikan bahwa isterinya Telah melakukan Zina (overspel) di muka pengadilan Pengadilan memberikan Keputusan mengenai sah atau Tidaknya anak yang Dilahirkan oleh isteri atas Permintaan si suami AKIBAT HUKUMNYA SI ANAK HANYA MEMILIKI HUBUNGAN HUKUM KEPERDATAAN DENGAN IBUNYA ATAU KELUARGA IBUNYA SAJA, TIDAK MEMILIKI HUBUNGAN HUKUM KEPERDATAAN DENGAN SUAMI IBUNYA. • MENURUT HUKUM ISLAM • APABILA TIDAK CUKUP BUKTI DAPAT DILAKUKAN DENGAN • SUMPAH LI’AN • Akibat hukumnya: • Anaknya tidak sah (anak haram) • Perkawinan menjadi putus selama-lamanya • Suami atau isteri tidak mendapatkan hukuman

  50. KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TIDAK DIATUR DALAM UU NO. 1 TAHUN 1974 DIBERLAKUKAN PERATURAN LAMA BERDASARKAN ATAS PASAL 66 UU NO. 1 TH. 1974 HUKUM ADAT KEDUDUKAN ANAK ANGKAT SAMA DENGAN ANAK KANDUNG (Yurisprudensi Mahkamah Agung R.I No. 578/K/Sip/1974 Tertanggal 7 Januari 1976 S. 1917-129 jo. S. 1925 – 92 Tentang ADOPSI bagi anak Laki-laki keturunan Cina, Anak adopsi dianggap Dilahirkan dari perkawinan Orang tua angkatnya berarti Sama dengan anak kandung HUKUM ISLAM Psl. 171 dan 209 KHI KONSEP SOLIDARITAS SOSIAL (Pemeliharaan,Pertumbuhan dan Pendidikan) TD. HASILKAN PERALIHAN HUBUNGAN PERDATA DARI OTK KE OTA. KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TIDAK SAMA DENGAN ANAK KANDUNG TIDAK MEWARIS HARTA ORANG TUA ANGKAT APABILA ANAK ANGKATNYA PEREMPUAN WALINYA TETAP ORANG TUA

More Related