1 / 71

Penyakit-Penyakit Clostridial

Penyakit-Penyakit Clostridial. Drh. Maxs U.E. Sanam, M.Sc. Drh . Hembang MP. Bakteriologi. Kuman Clostridium berbentuk batang, ukuran cukup besar, ber-spora, gram-positif Ditemukan sebagai sel-sel vegetatif yang hidup atau sebagai spora yang dorman

kina
Télécharger la présentation

Penyakit-Penyakit Clostridial

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. Penyakit-Penyakit Clostridial Drh. Maxs U.E. Sanam, M.Sc. Drh. Hembang MP

  2. Bakteriologi • Kuman Clostridium berbentuk batang, ukuran cukup besar, ber-spora, gram-positif • Ditemukan sebagai sel-sel vegetatif yang hidup atau sebagai spora yang dorman • Habitat alami adalah tanah dan saluran intestinum hewan dan manusia • Spora dorman pernah ditemukan pada otot kuda dan sapi • Bentuk vegetatif di dalam cairan jaringan dari hewan terinfeksi berada dalam bentuk tunggal, atau berpasangan, namun jarang membentuk rantai • Endospora berbentuk oval kadang sferikal, dan terletak di tengah (sentral), subterminal, atau terminal dari sel vegetatif. • Diferensiasi berbagai species patogen kuman clostridial didasarkan pada karakteristik kultur, bentuk dan posisi spora, reaksi-reaksi biokimiawi, dan spesifisitas antigenik dari toksin atau antigen permukaan

  3. C tetani, spora di bagian ujung sel vegetatif Clostridium pefringens Clostridium difficile, Spora di tengah atau di subterminal sel vegetatif

  4. Strain-strain patogenik ataupun toksinnya masuk ke dalam tubuh hewan melalui kontaminasi luka ataupun ingesti • Penyakit-penyakit klostridial dikelompokkan ke dalam 2 kategori: • 1. Kelompok penyakit dimana kumannya secara aktif menginvasi ataupun spora lokal yang dorman teraktivasi dan menggandakan diri di dalam jaringan hospes lalu menghasilkan toksin dan meningkatkan penyebaran infeksi (kelompok gangren gas) • 2. Kelompok yang menimbulkan toksemia yang terjadi akibat absorbsi toksin yang diproduksi oleh kuman di dalam sistem pencernaan (enterotoksemia), di dalam jaringan (tetanus), atau di dalam makanan (botulismus)

  5. Blackleg • Blackleg adalah penyakit akut pada sapi dan domba yang disebabkan oleh Clostridium chauvoei ditandai dengan pembengkakan emfisematosa, biasanya pada otot-otot berat (myositis clostridial). • Penyakit ditemukan di seluruh dunia.

  6. Etiologi • Normal ditemukan di dalam saluran pencernaan hewan. Spora berada di tanah dan bertahan hidup selama bertahun-tahun dan menjadi sumber infeksi • Wabah muncul menyusul pembongkaran tanah ataupun banjir • Kuman mungkin teringesti, melewati dinding saluran GI, dan masuk ke dalam darah dan akhirnya terdeposit di dalam otot dan jaringan lain (limpa, hati, dan saluran pencernaan) dan bertahan dorman di sana. • Pada sapi, infeksi blacklag bersifat endogenous, berbeda dengan malignant edema • Lesi muncul & berkembang tanpa ada riwayat luka. Sapi yang terinfeksi umumnya jenis sapi potong, dan memiliki pertumbuhan BB yang bagus. Umumnya sapi muda berumur 6-24 bulan, namun sapi muda (6 minggu) maupun sapi tua (10-12 tahun) juga dapat terinfeksi

  7. Pada domba, penyakit biasanya terjadi akibat adanya infeksi luka trauma ataupun menyusul tindakan kastrasi, luka pencukuran bulu, pemotongan ekor. • CFR (case fatality rate) mencapai 100%. Di New Zealand lebih banyak ditemukan blacklag pada domba dibanding sapi

  8. Gejala Klinis • Onsetnya biasa cepat, beberapa sapi ditemukan mati tanpa tanda atau gejala klinis • Kepincangan hebat yang akut dan depresi berat umum terlihat • Awalnya, demam namun ketika gejala klinis semakin jelas, suhu tubuh menjadi normal ataupun subnormal • Pembengkakan edematous yang khas terjadi di daerah pinggul, bahu, dada, punggung, leher, atau tempat lain. • Mulanya berukuran kecil, panas, dan sakit. Namun ketika berlanjut akan membasar teraba krepitasi dan kulit dingin dan insensitif karena menurunnya suplai darah ke daerah tsb. • Gejala umum meliputi lesu dan tremor. Kematian terjadi dalam 12 – 48 jam • Pada beberapa sapi, lesi terbatas pada myocardium dan diafragma

  9. Diagnosis • Penyakit fatal yang berjalan secara cepat yang terjadi pada sapi yang dalam keadaan score tubuh baik, terutama sapi potong, menderita pembengkakan kresipitasi pada otot-otot berat mengindikasikan blacklag • Otot yang terserang berwarna merah gelap hingga hitam, kering, dan berbusa. Otot memiliki bau agak khas, terinfiltrasi oleh gelembung udara dan sedikit edema • Kadang perubahan jaringan yang disebabkan oleh C septicum, C novyi, C sordellii, dan C perfringens menyerupai blacklag • Diagnosis lapangan diteguhkan dengan menemukan C chauvoei di dalam otot • Sampel otot supaya diambil sesegera mungkin setelah hewan mati. • Fluorescent antibody test (FAT) merupakan uji yang cepat untuk mendeteksi adanya C chauvoei

  10. Kontrol • Vaksin multivalen yang mengandung antigen C chauvoei, C septicum, C novyi sudah tersedia dan aman digunakan untuk sapi dan domba • Pedet umur 3-6 bulan harus divaskinasi 2 kali, dengan interval 4 minggu, diikuti dengan booster tahunan • Pada keadaan wabah, semua hewan peka harus divaksinasi dan disuntik penicillin (10.000 IU/kg IM) untuk mencegah munculnya kasus baru setidaknya untuk selama 14 hari • Sapi harus dipindahkan dari padang yang terinfeksi • Domba induk harus divaksinasi 2 kali 1 bulan sebelum melahirkan dan vaksinasi tahunan • Domba muda harus divaksinasi sebelum mulai merumput • Dalam keadaan wabah, penyuntikan penicillin dianjurkan sebagai profilaktik

  11. Infectious Necrotic Hepatitis • Disebut juga infeksi Clostridium novyi, dan black disease • Infectious necrotic hepatitis adalah penyakit toksemia akut pada domba dan kadang terjadi pada sapi dan jarang terjadi pada babi dan kuda

  12. Etiologi dan Patogenesis • Agen etiologik adalah C novyi tipe B. Kuman berada di tanah dan terdeposisi di dalam usus dan liver herbivora. Kuman bisa berada di kulit dan menjadi sumber infeksi bagi luka • Kontaminasi fekal oleh hewan karier pada padang rumput merupakan sumber infeksi terpenting • Kuman berproliferasi di daerah nekrosis pada hati. Nekrosis disebabkan oleh migrasi cacing hati dan menghasilkan toksin penyebab nekrosis hebat (ά toksin) • Toksin berdaya nekrosis hebat yang lethal tsb menimbulkan kerusakan pada parenkim hati, memungkinkan bakteri untuk bermultiplikasi dan menghasilkan sejumlah toksin lethal.

  13. Gejala Klinis • Biasanya hewan mati tanpa gejala yang jelas • Hewan yang diserang berumur 2-4 tahun • Kasus infeksi terjadi bersamaan dengan tingginya infeksi cacing hati • Penyakit lebih banyak dialami oleh domba dewasa yang dipelihara baik • Hewan yang mati secara perakut dan menunjukkan lesi tipikal saat nekropsi harus dicurigai sebagai infectious necrotic hepatitis

  14. Lesi • Lesi makroskopis yang paling menciri adalah adanya foki nekrotik berwarna kuning keabuan di dalam hati, sepanjang jejak migrasi cacing hati muda • Secara histologik: lesi pada hati mengandung peradangan eosinofilia di bagian tengah (diinduksi oleh cacing hati) dikelilingi oleh nekrosis koagulasi dibagian tepi dengan netrofil. • Lesi tsb mengandung bakteri batang, gram-positif • Biasanya, terjadi ruptur yang ekstensif pada kapiler-kapiler jaringan subkutan, menyebabkan kulit di sekitarnya menjadi hitam (makanya disebut “black disease”)

  15. Kontrol • Insiden penyakit dapat diturunkan dengan menurunkan populasi siput Lymnea spp, hospes intermediat cacing hati (Fasciola sp) • Namun, tindakan pengendalian ini kadang tidak praktis • Vaksinasi dengan toxoid presipitat alumunium C novyi efektif mencegah infeksi • Kontaminasi pastura dapat diminimalisir dengan tindakan pemusnahan bangkai yang tepat

  16. Malignant edema • Penyakit akut • umumnya bersifat toksemia yang fatal • Menyerang semua species dan umur hewan • Biasanya disebabkan oleh C septicum • Namun, infeksi campuran dengan species clostridial lain yang berhubungan dengan infeksi melalui luka seperti: C chauvoei, C perfringens, C novyi, dan C sordellii juga dapat terjadi.

  17. Etiologi dan Patogenesis • C septicum ditemukan di tanah dan isi pencernaan hewan di seluruh dunia • Infeksi alamiah terjadi melalui kontaminasi luka, tanah, ataupun melalu spora yang mengalami reaktivasi • Luka yang terjadi akibat trauma, kastrasi, potong ekor, vaksinasi yang tidak saniter, prose kelahiran yang tidak saniter dapat memicu terjadinya infeksi • Toksin clostridial menyebabkan gejala lokal dan sistemik, bahkan menimbulkan kematian • Eksotoksin lokal menyebabkan inflamasi berlebihan yang menimbulkan edema berat, nekrosis, dan gangren • Faktor-faktor risiko meliputi: injeksi IM pada kuda, pencukuran bulu, pemotongan ekor, kelahiran pada domba, dan parturisi traumatik pada sapi, serta kastrasi pada sapi

  18. Gejala Klinis • Gejala-gejala umum: anoreksia, intoksikasi, dan demam tinggi, dan juga lesi lokal terjadi dalam 6-48 jam pasca terjadinya luka/kejadian predisposisi tersebut • Lesi lokal merupakan pembengkakan yang lunak dan meluas secara cepat oleh karena terdapatnya sejumlah besar eksudat yang menginfiltrasi jaringan subkutan dan jaringan ikat intramuskuler daerah yang terserang • Otot di daerah tersebut berwarna coklat gelap hingga hitam. Akumulasi gas mungkin terjadi • Edema hebat pada daerah kepala dari domba jantan dapat terjadi menyusul infeksi yang timbul pada luka akibat perkelahian

  19. Diagnosis • Mirip dengan blackleg • Diferensiasi berdasarkan nekropsi tidak reliable • Konfirmasi laboratorium sangat penting untuk meneguhkan diagnosis • Kuda dan babi sangat peka terhadap malignant edema • Diagnosa cepat dapat dilakukan dengan FAT • C septicum normal yang ada di dalam usus dapat bermigrasi ke jaringan lain bila specimen diambil >24 jam (False positif) • PCR dapat digunakan untuk membedakan species clostridium lain

  20. Kontrol • Bakterin digunakan untuk vaksinasi • C septicum biasanya dikombinasikan dengan C chauvoei, tersedia dalam bentuk multivalen • Pada daerah endemis, hewan harus divaksinasi sebelum dikastrasi, potong tanduk, atau potong ekor. • Pedet harus divaksinasi pada umur 2 bulan. Dua dosis dengan interval 2-3 minggu memberikan proteksi yang baik • Treatment dengan penicillin atau antibiotika broad-spectrum dosis tinggi sangat diindikasikan terutama pada awal penyakit

  21. Botulismus • Botulismus adalah penyakit lumpuh secara cepat yang disebabkan oleh ingesti toksin yang diproduksi oleh Clostridium botulinum tipe A-G • Kuman anaerob, berspora, berproliferasi di dalam jaringan hewan yang mengalami dekomposisi dan kadang-kadang pada material tanaman.

  22. Etiologi • Botulismus pada prinsipnya adalah suatu intoksikasi, bukan infeksi, dan dihasilkan oleh ingesti toksin di dalam makanan • Ada 7 tipe C botulinum, dibedakan berdasarkan spesifitas antigenik terhadap toksin: A, B, C1, D, E, F, dan G. Tipe A, B, dan E adalah yang paling penting bagi orang; C1 bagi hewan, terutama bebek liar, angsa, ayam, mink (cerpelai), sapi, dan kuda; dan D pada sapi. • Hanya 2 wabah pada orang yang pernah dilaporkan terjadi oleh tipe F. Sedangkan tipe G belum diketahui efek toksisitasnya baik pada orang maupun hewan • Sumber utama toksin adalah karkas yang mulai membusuk, ataupun bahan-bahan vegetasi seperti rumput, hay, biji-bijian yang mulai membusuk, atau silase yang tercemar.

  23. Semua tipe toksin memiliki efek farmakologik sama • Seperti tetanus, toksin botulinum adalah suatu enzim metalloprotease yang mengikat zink dan efeknya adalah memotong protein spesifik pada vesikel sinapsis. • Reseptor permukaan neuron motorik sangat bervariasi dalam respon terhadap toksin botulinum. Hal ini menjelaskan fakta adanya perbedaan species dalam kepekaannya terhadap berbagai toksin botulinum • Tingkat insidensi botulismus pada hewan tidak diketahui secara pasti, namun relatif rendah pada sapi dan kuda, mungkin lebih sering pada ayam, dan tinggi pada unggas air yang liar • Anjing, kucing, dan babi relatif resisten terhadap semua tipe toksin botulinum ketika diberikan per oral

  24. Gejala Klinis dan Lesi • Gejala botulismus berupa paralisis otot yang meliputi paralisis motorik secara progresif, gangguan penglihatan, sukar mengunyah dan menelan, dan kelemahan progresif secara umum • Kematian biasanya akibat paralisis otot jantung atau otot respiratorik • Toksin mencegah/menghambat pelepasan asetilkolin pada ujung sambungan neuromuskuler (neuromusculer junction) • Tidak ada lesi histologik ataupun perubahan makro anatomi menciri yang bisa diamati • Perubahan patologik lebih berhubungan dengan aksi paralitik toksin terhdap otot-otot sistem pernafasan, dan tidak berefek pada organ lain

  25. Hewan mungkin ditemukan mati tanpa gejala yang jelas • Sering kali terlihat paralisis progresif motorik secara simetris • Hewan terlihat sempoyongan, tremor otot, dan tidak mampu berdiri selama lebih dari 4-5 menit • Gejala lain berupa disfagia, konstipasi, mydriasis, dan urinasi frekuen • Ketika berlanjut, terjadi dyspnoe dengan kepala dan leher yang menjulur, takikardia, dan gagal pernafasan. Hewan mati dalam waktu 6-72 jam setelah rebah (recumbency) • Temuan nekropsi yang paling konsisten adalah edema dan kongesti pulmonum, cairan perikardial berlebihan, yang mengandung fibrin.

  26. Diagnosis • Paralisis motorik dan riwayat konsumsi pakan membantu diagnosis botulismus • Filtrat lambung dan usus dapat digunakan untuk menguji toksisitas pada mencit • Dalam kasus toxico-infectious, organisme mungkin dapat diisolasi dari jaringan hewan terinfeksi • ELISA adalah uji yang cukup efektif dan efisien dalam menguji sejumlah besar sampel yang diduga mengandung toksin botulinum

  27. Treatment • Rumput dan komponen pakan lain yang busuk tidak boleh digunakan sebagai pakan • Imunisasi sapi dengan toksoid tipe C dan D di Afrika Selatan dan Australia dilaporkan efektif • Treatment menggunakn antitoksin botulinum tipe C pada bebek dilaporkan berhasil; namun treatmen ini jarang diterapkan kepada sapi • Pengobatan dini menggunakan antitoksin B (30.000 IU, IV) pada anak kuda sebelum hewan rebah dilaporkan sukses • Prognosis biasanya buruk pada hewan yang telah roboh (recumbency)

  28. InfeksiClostridium difficile & C perfringens • Clostridium difficile adalah bakteri batang berukuran besar, membentuk spora, gram-positif, dan motil • Bakteri ini merupakan penyebab utama colitis yang berhubungan dengan pemakaian antibiotika tak terkontrol pada orang • C difficile juga dihubungkan dengan diare yang terjadi secara spontan pada berbagai species hewan termasuk kuda, babi, pedet, anjing, kucing, hamster, marmut, tikus, dan kelinci • C difficile menghasilkan toksin A, B, dan/atau toksin biner CDE di dalam usus

  29. Perhatikan hasil visualisasi gen C difficile pada gel elektroforesis yang sebelumnya sudah diamplifikasi dengan PCR PCR untuk gen Alpha (900 bp) Lane 1 & 10 DNA Marker, Lane 2 Kontrolnegatif, Lane 3 KontrolPositif, Lane 4-9 Isolat-isolat yang positifC perfringenstipe A

  30. Toksin A adalah enterotoksin yang menyebabkan hipersekresi cairan ke dalam lumen intestinum dan menyebabkan kerusakan jaringan • Toksin B adalah sitotoksin yang potent yang menginduksi inflamasi dan nekrosis. Mekanisme aksi dari CDT belum diketahui • Clostridium difficile dan C perfringens ditemukan dalam konsentrasi rendah dalam feses hewan normal. Kedua organisme ini dapat ditemukan di dalam tanah atau lingkungan eksternal yang teringesti oleh hewan • C difficile dan C perfringens menyebabkan diare dan kolik sporadik akut pada kuda • Faktor pemicu penyakit tidak diketahui dengan jelas, namun diduga bahwa perubahan flora normal memungkinkan multiplikasi secara berlebihan bakteri yang kemudian menghasilkan toksin yang kemudian menyebabkan kerusakan intestinum dan gangguan sistemik

  31. Faktor predisposisi yang diduga kuat adalah perubahan pakan dan terapi antibiotika. • Faktor hospes lain yang juga menentukan terjadinya infeksi atau tidak adalah umur, imunitas, ada/tidaknya reseptor intestinal untuk toksin clostridial • Test diagnostik untuk C difficile meliputi uji sitotoksitas sel (cell cytotoxicity assay) dan ELISA pada sampel feses, kultur anaerobik, dan PCR untuk membedakan strain toksigenik dari strain nontoksigenik

  32. C perfringens terdistribusi secara luas di tanah dan saluran Gastrointestina (GI) hewan dan dicirikan oleh kemampuannya untuk menghasilkan eksotoksin yang poten, beberapa diantaranya bertanggungjawab terhadap timbulnya enterotoksemia spesifik • 5 tipe telah diidentifikasi (A,B,C,D dan E) dan menghasilkan 1 atau lebih dari 4 toksin utama (alfa, beta, epsilon dan iota) • C perfringens tipe A adalah strain yang paling bervariasi dalam sifat-sifat toksigeniknya. Produksi toksin alfa berhubungan dengan gangren gas, infeksi traumatik, enteritis nektotik pada avian dan anjing, colitis pada kuda, dan diare pada babi

  33. Gejala klinis • Infeksi C difficile atau C perfringens pada kuda menimbulkan tanda-tanda rasa sakit abdominal (kolik) dan diare dengan atau tanpa darah • Mungkin terjadi distensi abdominal, terutama diare karena infeksi C difficile • Dehidrasi, toksemia, dan shock dapat terjadi • Satu atau lebih hewan dalam suatu farm mungkin terinfeksi • Mortalitas bervariasi

  34. C perfringens tipe B dan C menyebabkan enteritidis hebat, disentri, toksemia, dan mortalitas tinggi pada anak domba, pedet, babi, dan anak kuda (toksin beta). Tipe C menyebabkan enterotoksemia pada sapi, domba, dan kambing dewasa • Pengobatan diare pada kuda akibat C difficile atau C perfringens adalah Metronidazole per oral (15 mg/kb BB, tid). Metronidazole bersifat teratogenik sehingga harus dihindari penggunaannya pada hewan bunting

  35. Enterotoksemia (infeksi Clostridium perfringens) Enterotoksemia oleh C perfringens tipe A • Strain-strain C perfringens tipe A adalah bagian mikroflora normal di dalam usus hewan dan tidak memiliki toksin poten sebagaimana diproduksi oleh strain tipe lain • C perfringens enterotoksin (CPE) adalah toksin utama C perfringens yang terlibat di dalam penyakit keracunan makanan (foodborne illness) dan juga dikaitkan diare bukan keracunan makanan (non-foodborne diarrheal disease) pada berbagai hewan. • C perfringens juga menghasilkan toksin penyebab nekrosis pada kasus enteritis nekrotik pada unggas dan anjing, colitis pada kuda, babi, dan diare nosokomial akut atau kronik pada anjing.

  36. Bentuk akut dicirikan oleh adanya enteritis nekrotik dimana terjadi kerusakan berat pada villi dan nekrosis koagulasi usus halus • Banyak bakteri batang gram-positif terlihat di dalam smear (preparat ulas) feses, sejumlah besar C perfringens tipe A di dalam feses bisa ditemukan secara anaerobik pada anjing yang menderita diare akut • Namun, test feses ini tidak memiliki nilai diagnostik (karena adanya false-positive) • ELISA komersial untuk ajing sudah tersedia • PCR untuk evaluasi ekspresi gen pada infeksi CPE anjing sedang dievaluasi • Enterotoksin juga sudah ditemukan dalam feses babi yang diare namun tidak di dalam feses babi sehat

  37. Enterotoksemia oleh C perfringens tipe B dan C • Menyebabkan enteritis berat, disentri, toksemia, dan mortalititas tinggi pada anak domba, pedet, genjik, dan anak kuda • Tipe B dan C menghasilkan toksin beta yang bersifat sangat nekrotik dan lethal menimbulkan kerusakan hebat pada intestinum • Toksin beta ini sensitif terhadap enzim proteolitik, dan penyakit ini dikaitkan dengan inhibisi (hambatan) proteolisis di dalam intestinum • Kolostrum babi mengandung inhibitor trypsin diduga sebagai faktor meningkatnya kepekaan anak babi terhadap infeksi • Tipe C juga menimbulkan enterotoksemia pada sapi, domba, dan kambing dewasa

  38. Enterotoksemia yang disebabkan oleh C perfringens tipe B dan C

  39. Gejala Klinis • Disentri pada anak domba umur kurang dari 3 minggu • Hewan dapat mati tanpa tanda sakit, namun kebanyakan berhenti minum susu, lesu, dan tetap berbaring • Diare dengan sedikit warna darah umum ditemukan • Kematian terjadi dalam beberapa hari • Pada pedet, diare akut, disentri, kesakitan perut, kejang. Kematian dapat terjadi dalam beberapa hari • Pada genjik: diare akut, disentri, kemerahan anus, mortalitas tinggi. Sebagian besar mati dalam 12 jam • Pada anak kuda: disentri akut, toksemia, dan mati cepat.

  40. Lesi • Enteritis hemoragika diserta ulserasi pada mukosa usus adalah lesi utama pada semua species hewan • Usus terlihat berwarna ungu kebiruan dan tampak mengalami infarksi karena torsio mesenterika • Smear (ulas) terhadap isi usus dapat ditemukan sejumlah besar bakteri batang gram-positif • Filtrat dapat diambil untuk mendeteksi adanya toksin • Identifikasi lanjutan dilakukan dengan uji netralisasi menggunakan antisera spesifik

  41. Treatment dan Kontrol • Treatment biasanya tidak efektif karena cepat dan ganasnya penyakit • Namun dapat dicoba menggunakan serum hiperimun dan antibiotika per oral • Penyakit dapat dikontrol dengan cara vaksinasi pada induk bunting terutama pada 3 bulan terakhir masa kebuntingan; 2 kali vaksinasi dengan jeda 1 bulan. Selanjutnya dilakukan vaksinasi setiap tahun • Ketika terjadi wabah pada hewan muda, antiserum harus diberikan segera setelah hewan lahir

  42. Enterotoksemia tipe D (Pulpy kidney disease, Overeating disease) • Enterotoksemia klasik pada domba, cukup sering pada kambing, dan jarang pada sapi • Tersebar di seluruh dunia, menyerang hewan semua umur • Lebih banyak terjadi pada domba yang diberi pakan tinggi karbohidrat, atau kadang pada hewan yang merumput pada pastura hijau yang subur • Penyakit ini dikaitkan dengan pedet yang mendapatkan pakan gizi bagus, merumput di padang yang subur, dan sindrom kematian mendadak (sudden death syndrome) pada sapi yang digemukkan (feedlot) • Namun, bukti laboratorium dalam kaitan dengan sudden death syndrome masih kurang

  43. Etiologi • Agen kausatif adalah C perfringens tipe D • Faktor predisposis adalah ingesti sejumlah besar pakan secara berlebihan atau pada hewan muda ingesti susu dalam jumlah banyak • Pada domba muda, infeksi lebih sering terjadi penyakit biasanya terbatas pada anak domba yang lahir tunggal, jarang pada yang lahir kembar • Pada hewan yang digemukkan, penyakit sering terjadi pada individu yang dirubah pakannya dengan biji-bijian kaya karbohidrat • Meningkatnya kandungan karbohidrat akan menjadi media yang cocok untuk proliferasi C perfringens dan menghasilkan toksin epsilon

  44. Toksin epsilon menyebabkan kerusakan vaskuler, terutama pada kapiler di otak • Banyak domba dewasa membawa strain C perfringens tipe D sebagai bagian mikroflora di dalam intestinumnya, yang kemudian menjadi sumber infeksi bagi hewan yang dilahirkannya • Sebagian besar hewan karier tersebut, meski tidak divaksinasi, memiliki titer serum antitoksin

  45. Gejala klinis • Sudden death pada domba muda yang mendapatkan pakan baik adalah indikasi pertama penyakit ini • Eksitasi, inkoordinasi, dan konvulsi sebelum mati • Opisthotonus, berputar, dan menyandarkan kepala kepada obyek keras tertentu adalah gejala-gejala gangguan neurologik • Seringkali, hiperglisemia ataupun glikosuria • Diare dapat/ataupun tidak terlihat • Domba dewasa dapat juga diserang, menunjukkan kelemahan, inkoordinasi, konvulsi, danmati dalam 24 jam • Pada kambing, penyakit berjalan perakut hingga kronis, dengan gejala diare berair dengan/tanpa darah hingga sudden death

  46. Lesi • Pada saat nekropsi mungkin terlihat hanya beberap daerah hiperemik pada intestinum dan kantong perikardial yang terisi penuh dengan cairan. Ini terutama terjadi pada hewan muda • Pada hewan yang lebih tua: area-area hemoragi dapat ditemukan pada myocardium, dan juga peteki dan ekimose pada otot-otot abdominal dan bagian serosa intestinum • Rumen dan abomasum penuh dengan makanan/ingesta, pakan yang tidak terdigesti mungkin ditemukan di ileum

  47. Edema dan malacia dapat terdeteksi secra mikroskopis pada ganglia basalis dan cerebellum domba muda • Autolisis yang cepat pada ginjal menjadi alasan penamaan awal yang populer bagi penyakit ini “pulpy kidney disease” • Namun sindrom PKD ini tidak selalu ditemukan pada domba muda penderita, dan juga jarang ditemukan pada kambing atau sapi • Enterocolitis hemoragika atau nekrotika mungkin dapat diamati pada kambing

  48. Clostridium perfringen tipe C pada Babi

  49. Diagnosis • Diagnosis presumtif (sementara) terhadap enterotoksemia didasarkan pada adanya kematian mendadak yang diserta kekejangan pada domba muda yang diberi pakan kaya karbohidrat • Smear isi intestinum ditemukan adanya banyak bakteri batang gram-posif • Konfirmasi perlu dilakukan dengan menemukan toksin epsilon (toksin ε) dalam cairan usus halus • Cairan, bukan ingesta, harus dikirim ke laboratorium dalam vial steril beberapa jam setelah hewan mati dan dikirim dalam kedaan dingin untuk ientifikasi toksin

More Related