1 / 4

Diskriminasi Pendidikan di Sekolah

Persekolahan kita masih diskriminatif. Tak ubahnya seperti sistem pendidikan kolonial yang diskriminatif dan memihak elite. Pada zaman kolonial, sekolah hanya untuk kalangan bangsawan, ningrat, dan elite. Sebaliknya, orang-orang kecil (kawulo alit) termarginalkan.

maniksukoco
Télécharger la présentation

Diskriminasi Pendidikan di Sekolah

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/288670614See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/288670614 Diskriminasi Pendidikan di Sekolah Article · October 2015 CITATIONS 0 READS 199 1 author: Manik Sukoco Universitas Negeri Yogyakarta 22PUBLICATIONS0CITATIONS SEE PROFILE Some of the authors of this publication are also working on these related projects: The Problems of Implementing Scientific Approach Faced by Civics and Citizenship Education Teacher at SMP Negeri 1 GrujuganView project International Perspective of Civics and Citizenship EducationView project All content following this page was uploaded by Manik Sukoco on 29 December 2015. The user has requested enhancement of the downloaded file.

  2. Diskriminasi Pendidikan di Sekolah Manik Sukoco* *Prodi PPKn Program Pasccasarjana UNY dan Kolumnis Majalah Inside Indonesia, E-mail: itsmanik@fastmail.net Sampai sejauh ini, sistem persekolahan kita berhasil mendidik anak-anak yang pandai menjadi lebih pandai, tetapi gagal mendidik anak yang belum pandai dan lamban untuk menjadi pandai. Sekolah cenderung memilih anak yang memiliki potensi akademik dan finansial yang baik. Di sisi lain, anak yang memiliki potensi akademik dan finansial yang kurang beruntung cenderung terpinggirkan. Persekolahan kita masih diskriminatif. Tak ubahnya seperti sistem pendidikan kolonial yang diskriminatif dan memihak elite. Pada zaman kolonial, sekolah hanya untuk kalangan bangsawan, ningrat, dan elite. Sebaliknya, orang-orang kecil (kawulo alit) termarginalkan. Pada saat itu, rakyat jelata hanya diberi kesempatan sekolah ongko loro (sekolah kelas dua). Perkembangan berikutnya, rakyat jelata diberi kesempatan masuk sekolah rakyat (SR) selama enam tahun, sekarang disebut sekolah dasar (SD). SR awalnya digratiskan pemerintah. Hak Konstitusional Apakah setelah 70 tahun merdeka sudah terjadi pergeseran ke arah yang lebih bermakna dalam mencerdaskan kehidupan bangsa? Bagaimana nasib anak-anak yang kurang beruntung dari sisi potensi akademik dan finansial untuk mendapatkan layanan pendidikan? Sudahkah harapan yang diinginkan melalui UUD dalam Pasal 31 bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan terpenuhi? Kalau kita cermati, sistem seleksi pendidikan termasuk pendidikan dasar menggambarkan betapa diskriminatifnya sistem persekolahan kita saat ini. Sekolah cenderung memilih anak yang memiliki potensi akademik dan finansialnya yang baik. Tetapi bagaimana nasib anak-anak yang potensi akademiknya dan finansialnya kurang? Padahal, sesuai dengan konstitusi mereka juga warga negara Indonesia yang berhak mendapatkan pendidikan. Memang ada program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, ada SMP terbuka, ada dana BOS, dan sederetan regulasi lain yang mendukung ke arah tiap-tiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Namun, realitas di lapangan untuk mewujudkan amanah konstitusi tentang pendidikan masih sangat sulit. Ataukah sekolah memang ditakdirkan untuk diskriminatif dan hanya milik kelompok elite? Penerimaan siswa baru (PSB) untuk pendidikan dasar selama ini menggunakan sistem seleksi. Dampaknya yang muncul tidak ubahnya seperti pendidikan kolonial selalu saja diskriminatif. PSB akan lebih bermakna kalau diposisikan sebagai fungsi penempatan, dan bukan fungsi selektif karena setiap anak harus bersekolah. Oleh sebab itu, pemerintah wajib menata dan

  3. menempatkan peserta didik berdasarkan karakteristik mereka. Sekolah bukan hanya memilih anak-anak yang pandai. Akibat sistem seleksi masuk SD melalui berbagai aspek dan teknik, satu di antaranya melalui kemampuan baca tulis, anak dari taman kanak-kanak (TK) yang belum bisa membaca dan menulis tidak diterima. Oleh sebab itu, banyak TK yang mulai bergeser fungsinya dengan memberikan pelajaran membaca menulis. Sedang anak-anak TK dari segi perkembangan kognitifnya baru mencapai berpikir praoperasional (Piaget) dan belum mencapai taraf berpikir operasional formal. Efeknya, anak-anak TK sudah diajak berpikir operasional dan harus mengikuti kaidah-kaidah formal. Anak menjadi kehilangan masa indah kanak-kanaknya. Maka wajar banyak kita saksikan orang tua yang perilakunya masih seperti kanak-kanak. Wajar pula alm. K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyebut anggota DPR seperti taman kanak-kanak. Jangan-jangan mereka ini kehilangan masa kanak-kanaknya karena disuguhi pelajaran di luar kewajaran, seperti les. Sekolah yang Baik Di sisi lain, penilaian terhadap kinerja sekolah sering tidak objektif karena hanya mengamati lulusannya. Kecenderungan sekolah yang menghasilkan lulusan dengan prestasi baik, kalau ditelusuri sebagian besar mereka berasal dari sekolah yang row input-nya memang baik. Hasil proses kinerja sekolah sebenarnya merupakan perbandingan antara input dan output. Begitu pula sekolah yang output-nya kurang baik pada umumnya row input-nya kurang baik. Kontribusinya sekolah yang lulusannya baik meningkatkan minat peserta didik berlomba masuk sekolah tersebut. Akibat adanya persaingan masuk, sekolah yang baik output-nya menjadi semakin baik, dan proses ini berlangsung terus sehingga lulusannya menjadi lebih baik. Benarkah baiknya prestasi yang dicapai lulusan sekolah berkat kinerjanya sekolah dan guru? Sebenarnya penilaian terhadap kinerja sekolah selama ini sering kurang realistik. Anak yang berpotensi bila didukung sarana yang baik di sekolah yang baik, jika prestasinya baik adalah suatu hal yang seharusnya. Jangan-jangan tidak perlu terlalu banyak sentuhan guru pun hasilnya sudah baik. Hal yang sebaliknya sekolah yang lulusannya kurang baik, dijauhi dari pendaftar dan berdampak persaingan untuk memasuki sekolah tersebut menjadi longgar. Tugas guru terhadap sekolah yang seperti ini menjadi berat karena dari sisi potensi peserta didik kurang menguntungkan. Daya dukung orang tua menjadi rendah dan perhatian pemerintah terhadap sekolah seperti ini biasanya juga berkurang. Kalau anak yang berpotensi baik mendapat fasilitas di sekolah yang baik, pertanyaannya kenapa anak yang potensinya akademiknya tidak sesuai dengan kriteria tidak mendapat fasilitas yang lebih baik, atau setidaknya sama dengan sekolah yang baik?

  4. Sekolah semestinya tidak diskriminatif agar potensi anak dapat terangkat. Sehingga sekolah mampu mendidik anak yang pandai menjadi lebih pandai dan mengangkat peserta didik yang kurang pandai menjadi pandai. View publication stats View publication stats

More Related