1 / 1

Dijemput Tentara Belanda

Dijemput Tentara Belanda Pada suatu hari, masih di Yogyakarta, saya kebetulan keluar dapur dan melihat ada payung-payung besar di udara. Saya berlari menemui Tuan Batangtaris, ajudan Tuan Besar, saya bertanya, “Tuan Abang, apa itu yang megar di langit?”

cosmo
Télécharger la présentation

Dijemput Tentara Belanda

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. Dijemput Tentara Belanda Pada suatu hari, masih di Yogyakarta, saya kebetulan keluar dapur dan melihat ada payung-payung besar di udara. Saya berlari menemui Tuan Batangtaris, ajudan Tuan Besar, saya bertanya, “Tuan Abang, apa itu yang megar di langit?” Tidak lama kemudian, banyak orang yang katanya tentara Belanda datang membawa senapan. Kami ketakutan sebab ditodongi. Beberapa waktu sesudah itu Tuan Besar dibawa pergi. Katanya ke Bangka di Sumatra. Waktu Tuan Besar dibawa itu, semua orang menangis: saya, Mak Suyati, Nyonya Besar, Ndara Putri, apalagi Ndara Kiah, adiknya Tuan, sampai jerit-jerit. Ya maklum, namanya adik. Nyonya, Non Meutia, Mak, dan Ndara Kakung dan Putri, serta Ndara Titi (adik Nyonya), tinggal di istana bersama Ibu Fatmawati, Guntur, dan Megawati. Pak Karno dan Tuan pergi ke Sumatra, katanya ditawan oleh Belanda. Saya bersama beberapa pembantu lainnya tetap di Reksobayan 4, untuk menjaga rumah. Ada tentara Belanda yang menjaga di situ juga, dan mereka melarang saya ke luar rumah. Kalau saya mencoba ke luar, saya ditodong senapan, sampai saya takut sekali. Mereka bilang begini, “Mag niet, Mammie, een, twee, drie, vier, vijf, zes, seven, acht, negen, tien, stop!!” sambil menodongkan senapan. Artinya sesudah sepuluh langkah saya harus balik ke rumah. Tetapi kadang-kadang orang Belanda itu baik juga. Mereka bertanya, “Mammie, bisa bikin es krim?” Saya jawab, “Bisa, kasih saja saya es, susu, gula…. dan seterusnya.” Lalu mereka tanya lagi, “Mammie, wat wil je eten? Mau rijst atau brood?” (Bu, mau makan apa? Nasi atau roti?) Saya jawab, “Mau rijst, sebab kalau brood tidak bisa kenyang!” Pertanyaan lain, “Mammie, mau roken (rokok) atau tidak?” Saya bilang, “Mau”. Karena saya sopan dan menjawab semua pertanyaan dengan baik, maka saya mendapat apa-apa yang saya perlukan, seperti gula, kopi, mentega, rokok, dan lain-lain. Belanda-Belanda itu sering juga pergi ke luar rumah. Maka kalau mereka sedang tidak siaga, saya diam-diam membungkus bahan makanan itu dalam gendongan selendang lalu ditutupi kain-kainan. Kemudian saya menyamar jadi orang tua pakai kudungan, tongkat, dan baju rombeng, padahal saya baru berumur 30 tahun. Jalannya dibungkuk-bungkukan. Saya baca lafal-lafal yang diajarkan orangtua saya dulu, maksudnya agar selamat, tidak tertangkap oleh Belanda. Saya mencari adik saya, Dirin, yang sedang berjuang bersama 30 orang anak buahnya di kota Yogya. Barang-barang itu untuk Dirin, karena saya tidak tega melihat dia, makannya cuma ampas kelapa yang dipepes. Jadi saya nekad, berani menyamar untuk menyelundupkan barang-barang itu buat Dirin dan anak buahnya. Beberapa waktu kemudian, saya tinggal di Sarangan bersama Nyonya, Non Meutia, Ndara Kakung dan Ndara Putri, suster, dan Bung Diman, pengawal pribadi. Tuan Besar masih di Sumatra. Suyatmi Surip, Pribadi Manusia Hatta, Seri 4, Yayasan Hatta, Juli 2002

More Related