450 likes | 976 Vues
Perempuan dan Legislasi. Kelompok 3: Adhitya Riefka Sari Putri Dessy Marliani Nadia Astari Sri Yulianti. Keterwakilan Perempuan di Lembaga L egislatif. Makna Perjuangan Keterwakilan Perempuan dalam Pengambilan Keputusan.
E N D
Perempuan dan Legislasi Kelompok 3: Adhitya Riefka Sari Putri Dessy Marliani Nadia Astari Sri Yulianti
Makna Perjuangan Keterwakilan Perempuan dalam Pengambilan Keputusan • Kesetaraan kesempatan dalam pengambilan keputusan akan mewujudkan persamaan peran dan posisi antara laki-laki dan perempuan dalam kuasa pengambilan keputusan. Pengalaman, kepentingan, dan daya tanggung perempuan dan laki-laki seharusnya menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, sehingga semua kebijakan publik memberikan manfaat yang sama adilnya bagi perempuan dan laki-laki. Perjuangan mewujudkan keterwakilan perempuan di parlemen adalah salah satu strategi mewujudkan kesetaraan gender di bidang politik, terutama dalam hal pengambilan keputusan. • Tujuan akhir dari perjuangan mewujudkan kesetaraan gender dalam politik melalui peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen adalah mencapai keadilan bagi perempuan dan laki-laki (keadilan gender) di segala aspek kehidupan.
Kebijakan Afirmatif (Affirmative Action) • Dimulai dengan disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Peningkatan keterwakilan perempuan berusaha dilakukan dengan cara memberikan ketentuan agar partai politik peserta Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% di dalam mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan: ‟Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.‟
UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%. Pasal 6 ayat (5) UU tersebut menyatakan bahwa : ‟Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)‟. • UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang mengatur syarat pendirian Partai Politik, pada Pasal 2 menyatakan: ‟Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan‟. • Pasal 20 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik: ‟Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing‟.
Zipper System Sistem tersebut mengatur bahwa setiap 3 (tiga) bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan. Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 menyatakan: ‟Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon‟. Pada ayat (1) mengatur bahwa nama-nama calon dalam daftar bakal calon disusun berdasarkan nomor urut.
Pemberitahuan kepada publik • Pada Pasal 66 ayat 2 UU No. 10 Tahun 2008 dinyatakan: “KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional”
Di dalam Undang-undang No. 8 tahun 2012 tentang Pemilu, terdapat lima pasal yang mengatur mengenai 30 %keterwakilan perempuan dalam pemilu. Pasal-pasal tersebut adalah: Pasal 8 (1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: (d) menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat. Pasal 55 Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Pasal 56 (2) Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon. Pasal 58 (1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan. Pasal 59 (3) Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan, maka KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut.
Perempuan dan Legislasi Instruksi Presiden no. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
DEFINISI PENGARUSUTAMAAN GENDER • Strategi pembangunan yang dilakukan dengan cara mengintegrasikan pengalaman, aspirasi,kebutuhan dan kepentingan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan, program dan kegiatan di bidang pembangunan • Proses yang memasukkan analisis gender ke dalam program dan kegiatan dari instansi pemerintah dan organisasi kemasyarakatan mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan, program dan kegiatan instansi pemerintah dan organisasi kemasyarakatan.
Aspek-aspek: a) dukungan politik; b) kebijakan/program/kegiatan yang responsif gender; c) tersedianya kelembagaan PUG; d) data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin dalam sistem; e) kemampuan sumber daya manusia (SDM) dalam melaksanakan dan mengawal PUG.
Pelaksanaan PUG • Telah lahir beberapa UU yg secara signifikan berupaya untuk mewujudkan KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender); • Tersedia data terpilah dan profil gender sebagai alat analisis dalam rangka pelaksanaan strategi PUG; • Terbangunnya mekanisme kelembagaan PUG di lembaga pemerintah tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; • Meningkatnya ‘critical mass’ di kalangan pemerintah dan organisasi non pemerintahyang memahami dan mendukung strategi PUG;
Meningkatnya alokasi dana dalam rangka percepatan pelaksanaan strategi PUG; • Telah tersusun alat analisis GAP dan PROBA; • Telah terbentuk mekanisme koordinasi tingkat nasional dan tingkat daerah; • Munculnya contoh dan model best practices; • Telah terselenggaranya mekanisme pemberian Anugerah Parahita Ekapraya sebagai salah satu sarana untuk melihat kemajuan pelaksanaan PUG (monev); • Partisipasi masyarakat madani dalam rangka mendorong pelaksanaan strategi PUG semakin meningkat.
Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan • Memastikanfungsimanagemenpelaksanaanpembangunan yang responsif gender (Koordinasi, Sinkronisasi, Sinergistis,BimbinganTeknisdanSupervisidilakukanolehpenerimamandat) • Memastikanbahwatidakadakesenjanganantaraperencanaandanpelaksanaan program yang responsif gender
Kendala dalam Pelaksanaan PUG • Belum meratanya pemahaman tentang konsep gender,strategi PUG dan KKG di kalangan decision makers • Inpres No.9/2000 hanya untuk eksekutif kurang menjangkau legislatif dan masyarakat • Pengenalan strategi PUG belum menjawab kebutuhan sektor dan daerah secara kontekstual • Belum digunakannya analisis gender dalam perencanaan pembangunan. • Terbatasnya indikator gender yg dapat digunakan untuk menganalisis dan menyusun kebijakan.
Pelaksanaan PUG di Era Desentralisasi yang tepat waktu, tepat asas, luput di tatanan praktis; • Proses pelaksanaan PUG tidak selalu berjalan linier dengan Prasyarat • Dukungan politik untuk melaksanakan PUG (SK Gubernur, Bupati, Walikota) tidak cukup tersosialisasi.
RAN-PUG • RAN PUG adalahRencanaAksiNasionalPengarusutamaan Gender yang berisiapa yang harusdilakukanolehsiapadengancarabagaimana, dan output/outcome-nyaapasehinggastrategi PUG benar-benardapatdiimplementasikandalamrangkamewujudkan KKG. • RAN PUG perlukarenaakan memberikan acuan/arahan kepada setiap stakeholders dalam melaksanakan strategi PUG untuk mencapai (KKG) dengan lebih fokus,efektif,sistematik, terukur dan berkelanjutan. • RAN PUG diharapkan dapat mendorong mempercepat tersusunnya kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang responsif gender
UU no 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Pada Pasal 65 (1) “Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.
Substansi: • Maka dari isi / muatan pasal diatas sudah jelas bahwa Perempuan mempunyai jatah dalam pemilihan umum / parlemen sebesar 30% dan masing-masing ditempatkan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Prov, dan DPRD Kab/Kota. Ini juga dapat dilihat sebagai perwujudan dari sistem Demokrasi. • Didalam Penjelasan pasal juga dinyatakan “cukup jelas” yang artinya angka 30% ini mutlak bagi perempuan.
Tujuan: • Tujuan dari adanya pasal ini tentu saja agar perempuan juga diakui keberadaannyadalam mengurus dan membentuk peraturan per-uu-an bagi Negara. Artinya perempuan dewasa ini turut sertadalam mensejahterakan masyarakat. Selain itu dengan adanya emansipasi perempuan, pasal ini mencegah adanya sikap diskriminatifterhadap keikutsertaan perempuan dalam berpolitik.
Pelaksanaan: • Realisasi atau perwujudan dari isi pasal tersebut tentu saja jika hanya berpedoman pada pelaksanaan isi UU ini, keterwakilan perempuansudah ada peningkatan, walaupun belum memenuhi target kuota yakni 30%. Ini dapat dilihat dalam hasil pemilihan umum dan daftar Anggota terpilih DPR RI terakhir tahun 2009-2014.
Daftar calon perempuan terpilih pemilu legislatif periode 2009-2014
Contoh Legislasi yang Diskriminasi Terhadap Perempuan • Perda Provinsi Aceh No. 14/2003 tentang Khalwat • Perda Kota Tangerang No. 8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran • Perda Kota Bengkulu No. 24/2000 tentang Larangan Pelacuran dalam Kota Bengkulu • Perda Provinsi Gorontalo No. 10/2003 tentang Pencegahan Maksiat • Perda Kabupaten Tasikmalaya No. 28/2000 tentang Pemberantasan Pelacuran • Perda Kabupaten Majalengka 14 Maret 2009 tentang Prostitusi • Perda Kabupaten Indramayu No. 4/2001 tentang Prostitusi • Perda Kabupaten Garut No. 6/2000 tentang Kesusilaan • Perda Kabupaten Cilacap No. 21/2003 tentang Pemberantasan Pelacuran • Perda Kabupaten Bekasi No. 10/2002 tentang Larangan Perbuatan Tuna Susila • Perda Kabupaten Sumenep No. 3/2002 tentang Larangan Tempat Maksiat • Perda Provinsi Aceh No. 5/2000 tentang Pelaksanaan Syariah Islam
Contoh Legislasi yang diskriminasi terhadap perempuan • Perda Bupati Cianjur No. 15/2006 tentang Pakaian Dinas Harian Pegawai di Lingkungan Kabupaten Cianjur • Perda Kabupaten Enrekang No. 16/2005 tentang Busana Muslim • Perda Kabupaten Maros No. 16/2005 tentang Berpakaian Muslim • Perda Kabupaten Pesisir Selatan No. 4/2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah • Surat Keputusan Bupati Pandeglang No. 9/2004 tentang Seragam Sekolah SD, SMP, SLTA • Surat Edaran Bupati Indramayu 2001 tentang Wajib Berbusana Muslim dan Pandai Baca Al-Quran untuk Siswa SekolahSumber : Laporan Pemantauan Komnas Perempuan, 2009
Analisa Materi Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran PASAL-PASAL KONTROVERSI Pasal 4 1. Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia atau mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di daerah.
Analisa Materi Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran Rumusan pasal dengan kalimat sikap atau perilakunya mencurigakan sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia atau mereka pelacur adalah multitafsir dan bertentangan dengan prinsip hukum pidana yang harus obyektif. Rumusan ketentuan kata “mencurigakan” menjadi salah satu klausula yang tidak akan dapat memenuhi unsur obyektif suatu kaidah pelarangan atau pelanggaran pidana karena kalimat tersebut tidak berdasar dan akan multitafsir dan berpotensi menimbulkan ketidak pastian hukum. Hal ini merupakan suatu bentuk diskriminasi terhadap perempuan, karena kecurigaan dialamatkan pada perempuan.
Analisa Materi Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran Bagian KetigaPartisipasi MasyarakatPasal 8 1. Setiap masyarakat atau siapapun berkewajiban untuk melaporkan kepada petugas atau pejabat yang berwenang apabila ia mengetahui langsung atau menduga kuat sedang berlangsungnya kegiatan pelacuran. Berkaitan dengan peran serta masyarakat, dengan adanya rumusan menduga kuat sedang berlangsungnya kegiatan pelacuran, jelas rumusan ini melegitimasi tindakan tanpa dasar hukum, premanisme, polisi moral dan main hakim sendiri. Faktanya sudah banyak korban salah tangkap dari pelaksanaan Perda ini.
Analisa Materi Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran • Bab IVKetentuan PidanaPasal 9 1. Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Perda ini, diancam dengan kurungan paling lama 3 bulan atau denda setinggi-tingginya 15 juta rupiah.2. Tindak Pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini adalah pelanggaran. Sanksi tidak dapat dikenakan pada rumusan delik dalam Perda ini yang tidak dapat dikualifisir sebagai tindak pidana karena tidak obyektif. Perumusan Sanksi dalam Perda ini ambigu dengan rumusan delik (perbuatan pidana) yang dimaksud dalam Perda karena rumusan delik bertentangan dengan prinsip pemidanaan yang telah diatur dalam KUHP dan KUHAP, dan karena bertentangan maka tidak dapat dilakukan prosedur menurut KUHAP.