1 / 86

PENDIDIKAN INKLUSIF

PENDIDIKAN INKLUSIF. DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH LUAR BIASA DIREKTORAT JENDERAL MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL. Jenis Layanan Pendidikan. 1. PENDIDIKAN INKLUSIF Sekolah Biasa/Sekolah Umum , yang mengakomodasi semua Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

Télécharger la présentation

PENDIDIKAN INKLUSIF

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. PENDIDIKAN INKLUSIF DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH LUAR BIASA DIREKTORAT JENDERAL MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

  2. Jenis Layanan Pendidikan 1. PENDIDIKAN INKLUSIF • Sekolah Biasa/Sekolah Umum, yang mengakomodasi semua Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) • SLB/Sekolah Luar Biasa/Sekolah Khususyang mengakomodasi anak biasa 1

  3. SLB TKLB-SDLB, SMPLB-SMALB, TK, SD, SMP, SMA, SMK PMPTK Lemb/Ass Ketr ORTU/MASY SENTRA PENDIDIKAN KHUSUS DAN PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS (SENTRA PENDIDIKAN INKLUSI) • Taman bacaan • Warung buku • Kafe Perpustakaan SLB (Sekolah Satu atap) Kelas Berkecerdasan Istimewa Prog. “Aksel” SD, SMP, SMA - Pasal 5 + Pasal 32 UU Sisdiknas - Pasal 51 UU Perlindungan Anak BHS.INGGRIS Pasal 33 ayat (3) UU Sisdiknas • Pasal 5 & Pasal 32 ayat 1 UU Sisdiknas • Pasal 52 UU Perlindungan Anak • Sekolah / Kelas Khusus Kelas Berbakat Istimewa Kelas Inklusif Asosiasi/Lembg Keterampilan/ SMK/Politek/PT ASRAMA KELAS KETRAMPILAN • UUD Pasal 31 ayat 1 + 2 • Pasal 5 ayat 1 UU Sisdiknas Kios-kios koperasi Pasal 61 UU Sisdiknas Guru Akademik Guru Keterampilan Guru Bantu (“Khusus”) Klinik Terapi & Latihan • Pasal 5 ayat 3 • Pasal 32 ayat 2 UU Sisdiknas • Pasal 53 UU Perlindungan Anak Kelas PLK UU No. 14 Tahun 2005 ttg. Guru dan Dosen

  4. Sekolah Khusus/ Sekolah Luar Biasa Sekolah Umum/ Biasa TK, SD, SMP, SMA, SMK • Fleksibel • Kurikulum (kearifan lokal) • Guru • PBM (lokasi & waktu) Pendidikan Inklusif Sekolah Khusus/SLB Sekolah Biasa kerjasama kerjasama Asosiasi/ Lembaga Kecacatan Sekolah/ kelas Khusus Inklusif kerjasama Asosiasi/ Lembaga Keterampilan Khusus mendirikan kerjasama membentuk Perguruan Tinggi * pendampingan • Bidang: • - keguruan & • pendidikan/PLB • - Psikologi • - TIK • Berbasis : • TIK • Keterampilan Khusus 3

  5. PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSI Dit. PSLB 4

  6. ….. Inklusif • Bagi siswa KEMAMPUAN AKADEMIKNYA (IQ) DI BAWAH RATA-RATA (ditetapkan oleh lembaga berwenang al. psikologi atau assesment center) TIDAK DIWAJIBKAN untuk mengikuti PBM / UN PENDIDIKAN AKADEMIK, dan diutamakan untuk mengikuti PENDIDIKAN KETERAMPILAN KHUSUS dengan program SERTIFIKASI KOMPETENSI oleh Lembaga Pendidikan / Asosiasi Keterampilan khusus (Pasal 61 UU Sisdiknas). • Proses belajar mengajar dan manajemen dapat menggunakan TIK / multimedia • memiliki fasilitas dan kelas / ruang khusus (dilampiri gambar/keterangan). • membuat SURAT KEPUTUSAN PENGANGKATAN MANAJER PROGRAM INKLUSI oleh Pimpinan Lembaga / Satuan Pendidikan (lampirkan). • atas dasar penilaian dari dinas pendidikan setempat penerima subsidi harus menjadi SEKOLAH MODEL (PERCONTOHAN) di daerahnya. • MENANAM TANAMAN / POHON (al. buah, bunga) sebanyak-banyaknya yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing.

  7. ….. Inklusif 6

  8. POKJA PENDIDIKAN INKLUSIF PROVINSI SEKSI PK KECACATAN SEKSI PK KEBERBAKATAN SEKSI PLK POKJA PENDIDIKAN INKLUSI: Working Group On Inclusive Education • PKK / LSM • PERGURUAN TINGGI • ASOSIASI KECACATAN • ASOSIASI KETERAMPILAN KHUSUS ASSESMENT CENTER AHLI / SPESIALIS • PSIKOLOGI • KEDOKTERAN • MIPA • TIK • OLAHRAGA • SENI 7

  9. Pendidikan Inklusif ( i ) • UUD 1945 (amandemen) • Pasal 31 • ayat (1) : Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan • ayat (2) : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya

  10. Universal Declaration of Human Rights (1948) • Article 26 • EVERYONE HAS THE RIGHT TO EDUCATION.. EDUCATIONshall be FREE, AT LEASTin the ELEMENTARYand FUNDAMENTAL STAGES. ELEMENTARY EDUCATIONshall beCOMPULSORY. Technical and professional education shall be made generally available and higher education shall be equally accessible to all on the basic of merit. • Education shall be directed to the full DEVELOPMENT of the HUMAN PERSONALITYand to the STRENGTHENING of RESPECT FOR HUMAN RIGHTS and FUNDAMENTAL FREEDOMS. It shall PROMOTE UNDERSTANDING, TOLERANCE andFRIENDSHIP among all NATIONS, RACIALor RELIGIOUS GROUPS, and shall futher the activities of the United Nations for the maintenance of peace. • PARENT have a PRIOR RIGHTto CHOOSE the KIND OF EDUCATION that shall be GIVEN TO THEIR CHILDREN. ( i ) ( i ) UNESCO

  11. Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education (1994) • Statement • Article 2 • We believe and pro claim that : • EVERY CHILD HAS A FUNDAMENTAL RIGHT TO EDUCATION,and must be given the opportunity to achieve and maintain and acceptable level of learning, • EVERY CHILD has UNIQUE CHARACTERISTICS, INTERESTS, ABILITIES and LEARNING NEEDS, • Educations systems should be designed and educational programmesimplemented to take into account the WIDE DIVERSITY OF THESE CHARACTERISTICS and NEEDS, • Those withSPECIAL EDUCATIONAL NEEDS MUST BE ACCESS TO REGULAR SCHOOLSwhich should accommodate them within should a child centred pedagogy capable of meeting these needs, • REGULAR SCHOOLS WITH THIS INCLUSIVE ORIENTATIONare the most effective means of COMBATING DISCRIMINATORY ATTITUDES, CREATING WELCOMING COMMUNITIES, BUILDING IN INCLUSIVE SOCIETY AND ACHIEVING EDUCATION FOR ALL;more over, they provide an effective education to the majority of children and improve the efficiency and ultimately the cost-effectiveness of entire education system. ( i ) ( i ) ( i ) ( i ) UNESCO

  12. Article 3 • We call upon all governments and urge them to : • Give the HIGHEST POLICY AND BUDGETARY PRIORITYto improve their education systems to enable them to include all children regardless of INDIVIDUAL DIFFERENCES OR DIFFICULTIES, • ADOPT as a matter of LAW or POLICYthe PRINCIPLE OF INCLUSIVE EDUCATION, enrolling all children in regular schools, unless there are compelling reasons for doing otherwise, DEVELOP DEMONSTRATION PROJECTS and ENCOURAGE EXCHANGES with countries having experience with inclusive schools, • ESTABLISH DECENTRALIZED and PARTICIPATORY MECHANISMS for PLANNING, MONITORING and EVALUATING educational provision for CHILDREN AND ADULTS with SPECIAL EDUCATION NEEDS, • ENCOURAGE and FACILITATE the PARTICIPATION OF PARENTS, COMMUNITIESand ORGANIZATION OF PERSONSwith DISSABILITIES in the PLANNING AND DECISION-MAKING PROCESSES concerning provision for special educational needs, • Invest GREATER EFFORT and EARLY IDENTIFICATION and INTERVENTION STRATEGIES, as well as in VOCATIONAL ASPECTS OF INCLUSIVE EDUCATION, • Ensure that, in the context of a systemic change,TEACHER EDUCATION PROGRAMMES, bothPRE-SERVICE and IN-SERVICE, address the provision of special needs education in inclusive schools. UNESCO

  13. Framework for Action (Salamanca 1994) • Article 3 • The guiding principle that informs this Framework is that schools should ACCOMMODATE ALL CHILDREN regardless of their physical, intellectual, social, emotional, linguistic or other conditions. • This should includeDISABLEDandGIFTED CHILDREN,STREETandWORKING CHILDREN, CHILDREN FROM REMOTEorNOMADIC POPULATIONS, CHILDREN FROM LINGUISTIC, ETHNIC or CULTURAL MINORITIESand children from otherDISADVANTAGEDor MARGINALIZED AREAS OR GROUPS. • These conditions create a range of different challenges to school systems. In the context of this Framework, the term special educational needs’ refers to all those children and youth whose needs arise from dissabilities or learning difficulties. • Many children experience learning difficulties and thus have special educational needs are some time during their schooling. • SCHOOLS HAVE TO FIND WAYS of successfully EDUCATING ALL CHILDREN, including those who have seriousdisadvantages and disabilities. • There is an emerging consensus that CHILDREN AND YOUTH WITH SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS should be INCLUDED in the EDUCATIONAL ARRANGEMENTS made for the MAJORITY OF CHILDREN. • This has led to the CONCEPT OF THE INCLUSIVE SCHOOL is that of DEVELOPING A CHILD-CENTRED PEDAGOGY CAPABLE of successfully educating all children, INCLUDING those who have SERIOUS DISADVANTAGES AND DISABILITIES. […] ( i ) ( i ) ( i ) ( i ) UNESCO

  14. UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat • Pasal (5 ) • “ Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalamsegala aspek kehidupan dan penghidupan”. • Pasal (6 ) • “Setiap penyandang cacat berhak memperoleh: • ayat 1: Pendidikan pada semuasatuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan. ( i ) ( i )

  15. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 48 : PEMERINTAH WAJIBmenyelenggarakan pendidikan dasar MINIMAL 9 (SEMBILAN) TAHUN UNTUK SEMUA ANAK. Pasal 49 : NEGARA, PEMERINTAH, KELUARGA, dan ORANG TUAwajib memberikan KESEMPATAN YANG SELUAS-LUASNYA KEPADA ANAK UNTUK MEMPEROLEH PENDIDIKAN. UU no. 20 Tahun 2003 SISDIKNAS Pasal 4 Pendidikan diselenggarakan secara DEMOKRATIS dan berkeadilan serta TIDAK DISKRIMINATIF dengan menjunjung tinggi HAK ASASI MANUSIA, nilai KEAGAMAAN, nilai KULTURAL, dan kemajemukan bangsa. Pasal 5 ayat (1) : Setiap warga negara mempunyai HAK YANG SAMA untuk memperoleh PENDIDIKAN YANG BERMUTU

  16. (beberapa cuplikan dari) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL BAB II DASAR, FUNGSI, DAN TUJUAN Pasal 3 Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, BERTUJUAN untuk BERKEMBANGNYA POTENSI PESERTA DIDIK agar menjadi manusia yang BERIMAN dan BERTAQWA kepada TUHAN YANG MAHA ESA,BERAKHLAK MULIA,SEHAT, BERILMU, CAKAP, KREATIF, MANDIRI, dan menjadi warga negara yang DEMOKRATIS serta BERTANGGUNG JAWAB. 15

  17. PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN • Pasal 4 • Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan SISTEM TERBUKA DAN MULTIMAKNA. • Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses PEMBUDAYAAN dan PEMBERDAYAAN peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. • Pendidikan diselenggarakan dengan memberi KETELADANAN, membangunKEMAUAN, dan mengembangkan KREATIVITASpeserta didik dalam proses pembelajaran • Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya MEMBACA, MENULIS, dan BERHITUNGbagi segenap warga masyarakat. • Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui PERAN SERTA dalam PENYELENGGARAAN dan PENGENDALIAN MUTU layanan pendidikan. 16

  18. HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA, ORANG TUA, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH • Bagian Kedua • Hak dan Kewajiban Orang Tua • Pasal 7 • ORANG TUA BERHAK berperan serta dalam MEMILIH satuan pendidikan dan MEMPEROLEH informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya. • ORANG TUA DARI ANAK USIA WAJIB BELAJAR, BERKEWAJIBAN MEMBERIKAN PENDIDIKAN DASAR KEPADA ANAKNYA. • Bagian Ketiga • Hak dan Kewajiban Masyarakat • Pasal 8 • MASYARAKAT BERHAK berperan serta dalam PERENCANAAN, PELAKSANAAN, PENGAWASAN, dan EVALUASI program pendidikan. • Pasal 9 • MASYARAKAT BERKEWAJIBANmemberikan DUKUNGAN SUMBER DAYAdalam penyelenggaraan pendidikan. 17

  19. Bagian Keempat • Hak dan Kewajiban Pemerintah Dan Pemerintah Daerah • Pasal 10 • Pemerintah dan Pemerintah Daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. • Pasal 11 • (1) PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH WAJIB MEMBERIKAN LAYANAN DAN KEMUDAHAN, serta MENJAMIN TERSELENGGARANYA PENDIDIKAN YANG BERMUTU bagi setiap warga negara TANPA DISKRIMINASI. • PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH WAJIB MENJAMIN TERSEDIANYA DANA guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang BERUSIA TUJUH SAMPAI DENGAN LIMA BELAS TAHUN. • STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN • Pasal 35 • Standar nasional pendidikan terdiri atas, STANDAR ISI, PROSES, KOMPETENSI, LULUSAN, TENAGA KEPENDIDIKAN, SARANA DAN PRASARANA, PENGELOLAAN, PEMBIAYAAN, dan PENILAIAN PENDIDIKAN yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. 18

  20. KURIKULUM • Pasal 36 • Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. • KURIKULUM pada SEMUA JENJANG dan JENIS PENDIDIKAN dikembangkan dengan PRINSIP DIVERSIFIKASI sesuai dengan SATUAN PENDIDIKAN, POTENSI DAERAH, dan PESERTA DIDIK. • Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan : • peningkatan iman dan taqwa; • peningkatan akhlak mulia; • PENINGKATAN POTENSI, KECERDASAN, DAN MINAT PESERTA DIDIK; • KERAGAMAN POTENSI DAERAH DAN LINGKUNGAN; • tuntutan pembangunan daerah dan nasional; • tuntutan dunia kerja; • PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, DAN SENI; • agama • dinamika perkembangan global, dan • persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. 19

  21. Rancangan Peraturan Pemerintah Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan RALAT AKHIR • BAB VII • PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KHUSUS DAN • PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS • Bagian Kesatu • Pendidikan Khusus • Paragraf 1 • Pendidikan Khusus bagi Peserta Didik Berkelainan • Pasal 143 • Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan berfungsi memberikan layanan pendidikan bagipeserta didik yang memiliki kesulitandalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainanfisik, emosional, mental, intelektual, dan/atausosial. • Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untukmengembangkan potensipeserta didik secara optimal sesuai kemampuannya. 20

  22. (3) Peserta didik berkelainan terdiri atas peserta didik yang : • a. tunanetra; • b. tunarungu; • c. tunawicara; • d. tunagrahita; • e. tunadaksa; • f. tunalaras; • g. berkesulitan belajar; • h. lamban belajar; • i. autis; • j. memiliki gangguan motorik; • k. menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya; dan • l. memiliki kelainan lainnya. • (4) Kelainan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat juga berwujud • gabungan dari 2 (dua) atau lebih jenis-jenis kelainan, yang disebut • tunaganda. 21

  23. Pasal 144 (1) Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan padasemua jalur dan jenis pendidikanpada jenjang pendidikan dasar dan menengah. (2) Penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui satuan pendidikan khusus, satuanpendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan,dan/atau satuan pendidikan keagamaan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai program pendidikan khusus pada satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaansebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 145 (1) Pemerintah provinsi menyelenggarakan sekurang-kurangnya 1 (satu) satuan pendidikan khusus untuk setiap jenis kelainan dan jenjang pendidikan sebagai modelsesuai dengan kebutuhan peserta didik. (2) Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya pendidikan khusus pada satuan pendidikan umum dan satuan pendidikan kejuruan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. 22

  24. (3) Menjamin terselenggaranya pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menetapkan sekurang-kurangnya 1 (satu) satuan pendidikan umum dan satuan pendidikan kejuruan yang memberikan pendidikan khusus. (4) Dalam menjamin terselenggaranya pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah provinsi dan/atau kabupaten/kota menyediakan sumberdaya pendidikan yang berkaitan dengan kebutuhan peserta didik berkelainan. (5) Perguruan tinggi wajib menyediakan aksesbagi mahasiswa berkelainan. (6) Pemerintah membantu tersedianya sumberdaya pendidikan yang berkaitan dengan kebutuhan peserta didik berkelainan pada pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3). Dan ayat (5) pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Pasal 146 Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan pada jalur formal diselenggarakan melalui satuan PAUD, satuan pendidikan dasar, satuan pendidikan menengah. 23

  25. Pasal 147 • Satuan pendidikan khusus formal bagi peserta didik berkelainan untuk PAUD berbentukTaman Kanak-kanak Luar Biasa, atau sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat. • Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan pada jenjang pendidikan dasar terdiri atas: • a.Sekolah Dasar Luar Biasa(SDLB), atau sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat. • b.Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa(SMPLB), atau sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat. • Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan pada jenjang pendidikan menengah adalahSekolah Menengah Atas Luar Biasa(SMALB),Sekolah Menengah Kejuruan Luar Biasa(SMKLB), atau sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat. • Penyelenggaraan satuan pendidikan khusus dapat dilaksanakan secara terintegrasi antar jenjang pendidikan dan/atau antar jenis kelainan. • Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan oleh satuan pendidikan pada jalur pendidikan nonformal. 24

  26. Paragraf 2 Pendidikan Khusus bagi Peserta Didik yang Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa Pasal 148 (1) Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memilikipotensi kecerdasan dan/atau bakat istimewaberfungsi mengembangkanpotensi keunggulan peserta didik menjadi prestasi nyatasesuai dengan karakteristik keistimewaannya. (2) Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa bertujuanmengaktualisasikan seluruh potensi keistimewaannyatanpa mengabaikan keseimbangan perkembangan kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, sosial, estetik, kinestetik, dan kecerdasan lainnya. 25

  27. Pasal 149 • (1) Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memilikipotensi kecerdasan dan/atau bakat istimewadapat diselenggarakan pada satuan pendidikan formal TK/RA/BA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat. • (2) Program pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dapat berupa : • a. program percepatan; dan/atau • b. program pengayaan. • Program percepatan dan/atau pengayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan persyaratan: • peserta didik memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa yang diukur dengan tes psikologi; • peserta didik memiliki prestasi akademik tuinggi dan/atau bakat istimewa di bidang seni dan/atau olahraga; • satuan pendidikan penyelenggara telah atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan. 26

  28. (4) Program percepatan dan/atau pengayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan dengan menerapkan sistem kredit semester sesuai dengan peraturan perundang-undangan. • (5) Penyelenggaraan program pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam bentuk • : • kelas biasa; • kelas khusus; atau • satuan pendidikan khusus. 27

  29. Pasal 150 Pemerintah provinsi menyelenggarakan sekurang-kurangnya 1 (satu) satuan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Pasal 151 Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dapat diselenggarakan oleh satuan pendidikan pada jalur pendidikan nonformal. Pasal 152 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraanpendidikan khusus diatur dengan Peraturan Menteri.. 28

  30. Bagian Ketiga • Pendidikan Layanan Khusus • Pasal 153 • Pendidikan layanan khusus bertujuan menyediakan akses pendidikan bagi peserta didik agar haknya untuk memperoleh pendidikan terpenuhi. • Pendidikan layanan khusus berfungsi memberikan layanan pendidikan bagi peserta didik di daerah: • terpencil atau terbelakang; • yang mengalami bencana alam; • masyarakat adat terpencil; • yang mengalami bencana sosial; dan/atau • tidak mampu dari segi ekonomi 29

  31. Pasal 154 • (1) Pendidikan layanan khusus dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. • (2) Pendidikan layanan khusus pada jalur pendidikan formal diselenggarakan dengan cara menyesuaikan waktu, tempat, sarana dan prasarana pembelajaran, pendidik, tenaga kependidikan, dan/atau sumberdaya pembelajaran lainnya dengan kondisi kesulitan peserta didik. • Pasal 155 • Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing menyelenggarakan pendidikan layanan khusus. • Pasal 156 • Ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan pendidikan layanan khusus diatur dengan Peraturan Menteri. 30

  32. KESEPAKATAN INTERNASIONAL Millenium Development Goals (2000) • All UN member states declared that by 2005 the following goals will be realised: • Goal 1: Eradicateextrame povertyand hunger • Reduce by half the proportion of people living on less than a dollar a day • Reduce by half the proportion of people who suffer from hunger • Goal 2: Achieve universalPRIMARY EDUCATION • Ensure that all boys and girls complete a full course of primary schooling • Goal 3: Promote gender equality and empowerment of women • Eliminate gender disparity inPRIMARY AND SECONDARY EDUCATIONpreferably by 2005, and at all level by 2015 • Goal 4: Reduce child mortality • Reduce by two thirds the mortality rate among children under five • Goal 5: Improve maternal health • Reduce by three quarters the maternal mortality ratio • Goal 6: CombatHIV/AIDS, malaria and other diseases • Halt and begin to reverse the spread of HIV/AIDS • Halt and begin to reverse the incidence of malaria and other major disease UNESCO

  33. Goal 7: Ensure environmental sustainability • Integrate the principles of sustainable development into country policies and programmes; reverse loss of environmental resources • Reduce by half the proportion of people without sustainable access to safe drinking water • Achieve significant improvement in lives of at least 100 million slum dwellers, by 2020 • Goal 8: Development of Global Partnership for development • Develop further an open trading and financial system that is rule-based, predictable and non-discriminatory, includes a commitment to good governance, development and poverty reduction nationally and internationally • Address the least developed countries’ special needs. This includes tariff- and quota-free access for their exports; enhanced debt relief for heavily indebted poor countries; cancellation of official bilateral debt; and more generous official development assistance for countries commited to poverty reduction • Address the special needs of landlocked and small island developing State • Deal comprehensively with developing countries’ debt problems through national and international measures to make debt sustainable in the log term • In cooperation with the developing countries, develop decentand productive work for youth • In cooperation with pharmaceutical companies, provide access to affordable essential drugs in developing countries • In cooperation with the private sector, make available the benefits of new technologies especially information and communications technologies UNESCO

  34. The Dakar Framework – Education For All (2000) • Article 3 • […] It is aneducationgeared to tapping eachindividual’s talents and potential, and developing learners’ personalities, so that they can improve their lives and transform their societies. • Article 6 • Education is a fundamental human right. […] • Article 7 • We hereby collectively commit ourselves to the attainment of the following goals: • expanding and improving comprehensiveEARLY CHILDHOOD CARE AND EDUCATION, especially for the mostVULNARABLE AND DISADVENTAGED CHILDREN; • ensuring that by 2015 allCHILDREN IN DIFFICULT CIRCUMSTANCESand those belonging toETHNIC MINORITIES, have access to and complete, FREE AND COMPULSORY PRIMARY EDUCATION OF GOOD QUALITY; • ensuring that the LEARNING NEEDS OF ALL YOUNG PEOPLE AND ADULTSare met through equitable access to appropriate learning and life-skill programmes; • achieving a 50 per cent improvement in levels of adult literacy by 2015, especially for women, and equitable access to basic and continuing education for all adults; • ELIMINATING GENDER DISPARITIES IN PRIMARY AND SECONDARY EDUCATIONby 2005, and achieving gender equality in education by 2015, with a focus on ensuringgirl’ full and equal access to and echievement inbasic education of good quality; • improving all aspects of theQUALITY OF EDUCATION[…] UNESCO

  35. DEKLARASI DAKARPENDIDIKAN UNTUK SEMUA (2000) 1.Memperluas dan memperbaikikeseluruhan perawatan dan pendidikan anak dini usia, terutama bagianak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung 2. Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak, khususnyaanak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulitdan mereka yang termasukminoritas etnik, mempunyai akses dan menyelesaikanpendidikan dasaryang bebas dan wajib dengan kualitas baik 3. Menjamin bahwa kebutuhan belajarsemua manusia muda dan orang dewasaterpenuhi melalui akses yang adil padaprogram-program belajar dan kecakapan hidup (life skills) yang sesuai.

  36. 4.Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, danakses yang adilpadapendidikan dasardan berkelanjutan bagi semua orang dewasa 5. Menghapusdisparitas genderdalampendidikan dasardan menengahmenjelang tahun 2005 dan mencapai persamaan gender dalam pendikan menjelang tahun 2015 dengan suatufokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik 6. Memperbaiki semua aspekkualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya, sehingga hasil belajar yangdiakui dan terukur dapat diraiholeh semua, terutama dalam keaksaraan, angka dankecakapan hidup(life skills) yang penting.

  37. Inclusion IDDC Seminar on Inclusive Education "In a school moving Towards Inclusion quality education should be provided in a child and learning friendly environment, where diversity is experienced, embraced and recognised as enrichment for all involved. Curricula, and teaching approaches and methods should be characterised by emphasising social aspects of learning, dialogue, sensitivity to children's needs and interests, sharing - rather than competing and creative and flexible teachers and classroom management. All children, also children experiencing barriers to learning, development and participation, including children with disabilities, have the right for quality education in a school that is close to their home and a class that suits their age." [By Miriam Donath Skjorten, 2005] Special Education UNESCO

  38. Integrated Education Inclusive Education • Children are different; • All children can learn; • Different abilities, ethnic groups, size, age background, gender; • Change the system to fit the child. UNESCO

  39. Inclusive education is a human right, it’s good education and it makes good social sence • HUMAN RIGHTS • All children have thr right to LEARN TOGETHER. • Children should NOT BE DEVALUED or DISCRIMINATED againts by being excluded or sent away because of their disability or learning difficulty. • Disabled adults, describing themselves as special school survivors, are demanding an and to segregation. • There are no legitimate reasons to separate children for their education. Children belong together – with advantages and benefits for everyone. They do not need to be protected from each other. • GOOD EDUCATION • Research shows children do better, academically and socially, in inclusive settings. • There is no teaching or care in a segregated school which cannot take place in an ordinary school. • Given commitment and support, inclusive education is a more efficent use of educational resources • SOCIAL SENSE • Segregated teacher children to be fearful, ignorant and breeds prejudice. • All children need an education that help them develop relationships and prepare them for life in the mainstream. • Only inclusion has the potential to reduce fear and to build friendship, respect and understanding. UNESCO

  40. Challenges in implementing inclusive education Setiono Sugiharto, Jakarta National Education Minister Bambang Sudibyorecently said he was upbeat that Indonesia, with its HETEROGENEOUS POPULATION, would be able to create a strategy and make a breakthrough in implementing so-called INCLUSIVE EDUCATION, the goal of which is to promote an INCLUSIVE SOCIETY irrespective of social status, race, faith and ability, with differences being respected and valued. He further stated that Indonesia’s education policy is already in line that developed by UNESCO, including education for all, long-life education and education for ongoing development. But the minister refrained from explicitly disclosing how he planned to implement inclusive education in the country, and what kinds of breaktrrough he would make. The idea of unveiling inclusive education is certainly highly relevant to our current conditions, where differences in religion, faith, gender, ethnicity and ability are often seen as a threat rather than a source of richness and diversity. However, inclusive education can be implemented only if its principles are taken into account in the policy-making process. These encompass citizens’ inherent right to education on the bases of EQUALITY, exclusion from any kind of discrimination (race, color, sex, language, religion, ethnicity and social status), and respect for diversity and individual differences. It must be admitted that much of our education policy is often at odds with these principles.

  41. Moreover, the number of students dropping out of school is getting higher, especially in POVERTY-STRICKEN AREAS. Students are forced to leave school due to their parents’ POOR ECONOMIC condition, and to work to help their parents make ends meets. This leads to the growing number of CHILD LABORERS, which in turn leads to PHYSICAL and PHYSICOLOGICAL DISABILITIES. The majority of children living in REMOTE AREAS are unable to enjoy schooling in proper buildings. Many of them study in dilapidited and makeshift buildings, and are assisted only by a few dedicated teachers. Another serious challenge is the fact that most DISABLED PEOPLE are still excluded from equal access to mainstream education. In fact, they have become the ones who are side-lined by an exclusive education policy. A centralized education policy is an exclusively one-sided policy, which in often the main cause of segregation and discrimination. The case in point is the is the endlessly controversial national exam, which fails to accommodate students’ diverse backgrounds and needs. Also, CURRICULA are not designed on the basis of FLEXIBILITY and tend to be content-heavy. With such a rigid curriculum, students with special educational needs are excluded and even marginalized from main stream education. Other challenges abound, further encumbering the implementation of inclusive education here. It is not easy, for example, to limit the scope of inclusive education to be included in the curriculum. As a result, designing teaching materials that cover students’ diverse needs and cultural back grounds is problematic.

  42. No less important a challenge is the lack of teacher training in dealing with students hailing from heterogeneous cultural milieu. Teaching students issues related to inclusiveness in all walks of live requires a SPECIAL SKILL, which can be acquired through a specific training program. For instance, it takes a special effort to teach students how to appreciate differences in culture, race, ethnicity and religion if the students come from belief systems and cultures where exclusiveness and homogeneity and highlyrespected and valued, and ethnocentricity is culturally rooted. Implementing inclusive education here can only be viable provided that the minister is cognizant of these challenges and bases his strategies on them. It is also very important the whole society be prepared to accept the inclusive policies. The writer is chief editor of the Indonesian Journal of English Language Teaching and has taught English composition for 10 years al Atma Jaya University, Jakarta. He can be reached at setiono.sugiharto@atmajaya.ac.id.

  43. REKOMENDASI KOMISI OMBUDSMAN UNTUK PERBAIKAN SISTEM PELAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF • Definisi Pendidikan Inklusif • Saat ini ada persepsi yang beragam tentang pendidikan inklusif. Kadang-kadang diartikan secara sempit maka pendefinisian pendidikan inklusif hanya didasarkan pada bangunan asumsi bahwa “anak (berkebutuhan khusus) sebagai obyek masalah yang memerlukan penanganan penyelesaian”. • Definisi pendidikan inklusif secara luas adalah pendidikan yang menyertakan anak sebagai subyek bukan saja sebagai obyek, pendapat semua anak dapat diakomodir dan dipertimbangkan dengan baik untuk menciptakan pendidikan yang berkeadilan bagi semua, hingga terwujud pendidikan untuk semua (education for all). • Perbedaan antara pendidikan inklusif dengan pendidikan pada satuan pendidikan khusus terletak pada bagaimana pendekatan yang digunakan dalam melakukan identifikasi dan memecahkan kesulitan yang muncul di sekolah. • Pendidikan inklusif menggunakan pendekatan yang melihat pada kebutuhan bukan kepada keterbatasan. • Identifikasi terhadap anak berkebutuhan khusus diperlukan guna penyesuaian pembelajaran secara normal bukan untuk mengkhususkan pendidikan yang diterimanya sebagaiman pengertian dari pendidikan inklusif yaitu sistem layanan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan siswa umum sebayanya.

  44. Berbeda dengan pendidikan pada satuan pendidikan khusus yang lebih melihat pada keterbatasan yang dimiliki, dan memberikan pelajaran sesuai keterbatasannya, walaupun sebenarnya anak berkebutuhan khusus tersebut memiliki kemampuan seperti siswa normal. Memperhatikan definisi mengenai pendidikan inklusif di atas, dapat dirasakan sesungguhnya konsepsi pendidikan inklusif lebih banyak kesamaannya dengan konsepsi “pendidikan untuk semua”. Pendidikan inklusif mencoba memberikan solusi untuk mengatasi kecemasan tentang suatu kelompok tertentu menjadi upaya yang difokuskan untuk mengatasi hambatan dalam belajar dan berpartisipasi. Selain definisi sosiologis seperti diuraikan diatas, secara entimologis definisi pendidikan inklusif bias ditelusuri dengan membedah kata inklusif itu sendiri. Kata inklusif adalah turunan dari kata dasar “inklusi” yang berasal dari kata include dalam bahasa Inggris. Kata include artinya menjadi bagian dari sesuatu, atau being a part of something,menyatu dalam kesatuan being embraced into the whole. (Villa; Thousand,2005). Dengan demikian, pendidikan inklusif secara entimologis dapat diartikan sebagai proses belajar mengajar (pendidikan) yang menempatkan siswa-siswa (berkebutuhan khusus termasuk penyandang cacat) menjadi bagian dari suatu kesatuan proses belajar mengajar dengan anak-anak normal. Sehingga secara filosofis kata inklusi pada dasarnya mengandung prinsip keadilan dan persamaan hak. Dikaitkan dengan konteks pendidikan, kata “inklusi” yang dilekatkan di depan kata “pendidikan”memberikan makna yang lebih dalam tentang prinsip keadilan dan kesamaan dalam mengakses pendidikan bagi setiap warga masyarakat yang mempunyailatar belakang berbeda.

  45. Fuad Fachruddin , dalam artikelnya yang dimuat Harian Media Indonesia (18/08/08) mengutip pendapat Loreman menguraikan unsur pokok yang terkandung dalam pendidikan inklusif antara lain sebagai berikut: • Sikap positif terhadap anak-anak yang memiliki kelainan, • Rasa penghargaan yang tinggi terhadap pembelajaran, dan • Kemauan serta kemampuan melakukan adaptasi terhadap pengajaran berdasarkan kebutuhan dan kelainan individu • Definisi Pendidikan Inklusif juga dirumuskan dalam sebuah seminar internasional untuk penyandang cacat yang diselenggarakan di Agra, India pada tahun 1998. Definisi ini kemudian diadopsi dalam South African White Paper on Inclusif Education. • Beberapa hal penting yang terkandung dalam definisi pendidikan inklusif versi Agra dan South African White Paper memberikan makna yang lebih komprehensif karena antara lain: • Cakupan pendidikan inklusif lebih luas daripada pendidikan formal, karena meliputi pendidikan di rumah, masyarakat, sistem nonformal dan informal. • Mengakui bahwa semua anak dapat belajar, sehingga memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua anak. • Mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, jender, etnik, bahasa, kecacatan,status HIV/AIDS jll. • Mengartikan pendidikan inklusif sebagai suatu proses yang dinamis sehingga senantiasa berkembang sesuai denagn budaya dan konteksnya. • Pendidikan inklusif ditempatkan sebagai bagian dari strategi yang lebih lias untuk mempromosikan masyarakat inklusif.

  46. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Depdiknas mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai salah satu bentuk pelayanan pendidikan yang dapat menerima semua anak dengan berbagai kondisi. Dengan demikian, pendidikan inklusif dapat berarti sekolah biasa/umum yang mengakomodasi semua Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan/atau Sekolah Luar Biasa/Khusus yang mengakomodasi anak normal. • Dari berbagai definisi yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa kata inklusif secara gramatikal memilki makna yang sangat luas dan mendalam. Oleh karena itu pendidikan inklusif pada dasarnya adalah pendidikan untuk semua, yang menjujung tinggi kesamaan hak dan keadilan. Pendidikan inklusif sebagai salah satu bentuk pelayanan public juga terkait pada prinsip-prinsip pemberian pelayanan public yang baik sebagaiman terkandung dalam azas-azas umum pemerintahan yang baik (good governance). • Ada beberapa prinsip dasar dalam pendidikan inklusi (Fuad Fachruddin), • Pertama, semua anak bangsa dengan berbagai latar belakang berhak atas pendidikan. Hal ini merupakan perwujudan dari hak asasi, yaitu the right toeducation and education for all. Oleh sebab itu, sekolah inklusif merupakan jawaban atas kebutuhan pesrta didik yang plural, mengakomodasi keragaman cara belajar serta menjamin bahwa setiap individu dapat mengenyam pendidikan bermutu menggunakan kurikulum yang disesuaikan, strategi mengajar yang tepat, dan penggunaan sumber yang ada serta dukungan masyarakat.

  47. Kedua, pebelajaran yang berbasis pada pesrta didik. Konsep pendidikan atau Pembelajaran berbasis pada peserta didik ini mengandung cirri-ciri sebagai pendidikan yang menempatkan kebutuhan pesrta didik sebagai isu utama, memberikan kebebasan (otonomi) dan tanggung jawab kepada pesrta didik atas Pembelajaran yang menjadi pilihanya guna memperdalam pemahaman yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing pribadi pesrta didik. • Ketiga, anak-anak yang memerlukan pendidikan secara khusus (special education) ditempatkan sebagai bagian dari program pembinaan pendidik (teacher assistance). Selanjutnya, Pembelajaran diadaptasikan sedemikian rupa dengan kebutuhan pesrta didik. Misalkan dengan cara menyediakan bantuan ekstra, demokratis, komit terhadap keadilan dan anti diskriminasi. • Dengan demikian dalam konteks demokrasi, pedidikan inklusif merupakan suatu proses penanaman sikap toleran (tasamuh) di kalangan peserta didik agar mereka siap menghadapi dan apresiatif terhadap perbedaan dalam kehidupan sehari-hari,seperti perbedaan pendapat, pandangan, kepercayaan., budaya dan ideologi termasuk juga perbedaan komdisi fisik. Dengan pendidikan inklusif membangunkesadaran kritis terhadap isu-isu keadialan terutma dalam bidang pendidikan ditumbuhkan melalui pembentukan siakp dan prilaku kehidupan sehari-hari.

  48. Dalam cara pandang lama dikenal adanya tradisional dualistik sistem, yakni suatu sistem pendidikan yang memisahkan anak-anak normal dengan anak-anak berkelainan dalam persekolahan. Anak-anak yang berkelainan mendapat layanan pendidikan khusus (special education) melalui sekolah luar biasa (SLB). Sedangkan anak-anak normal mendapat layanan pendidikan melalui sekolah umum/regular. Pada sistem pendidikan seperti ini interaksi antar kedua kelompok anak tersebut tidak terjadi. Model ini menimbulkan keterpisahan (segregasion) dan keterasingan (alienation) anak-anak berkelainan dalam komunitas kehidupan anak-anak lainnya. • Kritik terhadap tradional dualistik system tersebut telah melahirkan paradigma baru mengenai sistem pendidikan terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Pendekatan yang digunakan dalam paradigma baru ini lebih bersifat integral, antara siswa normal dengan siswa berkrbutuhan khusus memperoleh pendidikan dalam sekolah atau kelas yang sama. Sistem pendidikan ini diwadahi dalam bentuk pendidikan inklusif. Sesuai dengan Pedoman Umum Inklusi Direktorat PSLB ada empat karakteristik yang melekat pada sistem pendidikan inklusif ini, yaitu; • Pendidikan inklusif merupakan proses yang berjalan terus-menerus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak; • Pendidikan inklusif dilaksanaka untuk memperoleh cara-cara untuk mengatasi hambatan-hambatan anak dalam belajar; • Pendidikan inklusif memberikan kesempatan kepada anak untuk hadir (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya. • Pendidikan unklusi diperuntukan bagi anak-anak yang tergolong marginal, eksklusif dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar

  49. Dengan demikian inti dari pendidikan inklusif adalah bagaimana anak-anak berkelainan dan/berkebutuhan khusus dapat mengakses pendidikan yang bermutu. Pendidikan inklusif dilaksanakan melalui sekolah-sekolah inklusif yang mempunyai misi untuk memberi kesempatan yang sama dan menjamin anak-anak berkelainan diakui sebagai warga belajar serta memenuhi kebutuhan khusus mereka. Sehingga dalam pelaksanaanya, konsep pendidikan inklusi sangat berkaitan dengan : • Restrukturisasi budaya, kebijakan dan praktek untuk merespon keberagaman siswa dalam lingkungannya; • Pembelajaran dan partisipasi semua anak yang rentan akan tekanan eksklusifitas termasuk bagi anak-anak normal yang bukan siswa penyandang cacat; • Meningkatkan mutu siswa maupun guru dan staf disekolah; • Mengatasi hambatan akses dan partisipasi siswa berkebutuhan khusus; • Pemenuhan hak siswa untuk didik di dalam lingkungan masyarakatnya; • Memandang keberagaman sebagai kekayaan sumber, bukan sebagai masalah; • Saling memelihara hubungan antara sekolah dan masyarakat; • Memandang pendidikan inklusi sebagai satu aspek dari Masyarakat Inklusif. • UNESCO,menyebutkan system pendidikan inklusif sebagai suatu gerakan. Tidak hanya itu, UNESCO bahkan mengaitkannya langsung dengan peningkatan mutu sekolah. Pendidikan Inklsif telah berkembang sebagai suatu gerakan untuk menantang kebijakan dan praktek pendidikan eksklusif yang selama ini di terpkan. Ruang lingkup pendidikan inklusif dan eksklusif saling terkait satu sama lain karena keduanyamerupakan sebuah proses peningkatan partisipasi siswa yang menuntut adanya pengurangan tekanan yang menghendaki dilaksanakannya sistem pendidikan eksklisif.

  50. Konsep-konsep utama yang tertulis Inclusive Education Where There Are Few Resource,dalam table dibawah ini:

More Related